Harimau Jawa Diyakini Masih Ada (2)

By , Rabu, 15 Januari 2014 | 16:49 WIB

Catatan Didik Raharyono dalam penelusuran dan investigasi harimau jawa sudah dimulai sejak November 1997 di Taman Nasional Meru Betiri (TMMB) yang dilakukan oleh BTNMB, PIPA, dan MMB.

Tahun 1999, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim II, MMB, FK3I, merambah kawasan Gunung Merapi Ungup-ungup, Ijen, Rante, Panataran, dan Raung. Hasil penelusuran tersebut ditemukan bukti keberadaan harimau jawa di Gunung Raung, Panataran, dan Ijen berdasarkan temuan rambut yang terselip di luka cakaran dan kotoran.

Pada April 1999, Pendidikan Lingkungan Kapai membongkar kelebatan hutan Gunung Slamet sisi Barat dan Selatan selama 15 hari. Hasil temuan berupa cakaran di pohon dengan rambut yang terselip, juga kotoran dan jejak. Keberadaan harimau jawa di Gunung Slamet diperkuat oleh penuturan masyarakat: pekuncen yang telah membunuh si harimau loreng tahun 1997. Rambut dari kulit harimau loreng sisa pembunuhan tahun 1997 berhasil diidentifikasi menggunakan mikroskop elektron sebagai rambut harimau jawa.

Data lainnya didapat dalam pemantauan yang dilakukan bulan Februari sampai Maret 2000 di Gunung Slamet selama satu bulan penuh. Meskipun perjumpaan langsung dengan harimau jawa belum terjadi, setidaknya cakaran dan rambutnya diklaim berhasil ditemukan. Keyakinan tersebut dikuatkan penduduk pengambil kayu di hutan bahwa harimau loreng sering mengikuti jalan setapak yang dibuatnya. Saat berpapasan terlihat acuh, oleh penduduk harimau loreng disebut 'macan budeg'.

Desember 2000 ditelusuri informasi perjumpaan harimau loreng di Gunungkidul bersama Jagawana dari BKSDA Yogyakarta. Bukti temuan menunjukkan bekas aktivitas macan tutul. Namun beberapa kepala dusun menyakini bahwa masih sering dijumpai harimau loreng saat musim kemarau atau ketika ada warga yang meninggal. Lama penungguan di makam yang baru dikubur berkisar dari 7 sampai 20 hari. Keberadaan harimau loreng di Gunungkidul dikuatkan oleh temuan cakaran di batu cadas penutup mulut song Bejono di Ponjong yang menjadi tempat persembunyiannya.

Agustus 2001, lewat informasi terbunuhnya harimau loreng di lereng Utara Gunung Muria Jawa Tengah, mandor PT Perhutani meyakini masih melihat tulang belulang loreng yang baru saja dibantai warga. Data penguat terakhir adalah penuturan dari Pecinta Alam UMK saat melakukan pengembaraan di lereng selatan Gunung Muria, berpapasan dengan harimau loreng bertubuh besar dan sempat disaksikan oleh satu regu yang terdiri dari 6 orang.

Pecinta Alam dari Solo (Dinamik Faperta UNS) melaporkan pernah berpapasan dengan macan loreng di Lawu tahun 1998 dan disaksikan semua anggota tim SRU sekitar 5 orang saat berlatih SAR.

Tahun 2004 juga dijumpai feses harimau jawa dengan diameter sekitar 7 cm dan tahun 2006 ada kesaksian perjumpaan dari TNI.

Tahun 2008 ditemukan sampel kulit harimau loreng yang dibunuh dari Jawa Tengah. Tahun 2008 juga menjumpai sisa kuku yang masih ada darah milik harimau jawa yang dibunuh di wilayah Jawa barat.

Tahun 2009 didapat sampel kulit lagi harimau yang dibunuh di Jawa Timur. Secara mikroskopis, untuk rambutnya sudah menunjuk ke harimau loreng dan bukan tutul; tetapi perlu analisis lebih lanjut ke tingkat DNA, yang saat ini sedang dipersiapkan.

“Tahun 2013 ini, bahkan kami mendapatkan potongan bulu harimau jawa, dari Jawa Timur,” kata Didik.

Penelitian murni anak negeri

Penelitian dan temuan terkait harimau jawa oleh peneliti dalam negeri seperti yang terus dilakukan Didik dan Wahyu Giri Prasetya sangat sulit mendapatkan kepercayaan dari peneliti dan lembaga Internasional.

Wahyu Giri menjelaskan, para peneliti asing seakan telah lupa ketika masuk hutan minta dipandu, dan siapa pemandunya, jika bukan warga lokal dan anak negeri.

Yang perlu diingat bahwa keabsahan hasil telitian bukan oleh siapa yang melakukan, tapi pada teknik dan prosedur.  “Kenapa prasangka yang diutamakan, kenapa tidak ditanya bagaimana cara kami mendapatkan rambut tersebut di hutan,” kata Wahyu Giri.

“Pengamatan harimau jawa sudah seharusnya dilakukan masyarakat Jawa sendiri, peneliti dan instansi terkait tanpa harus tergantung kepada peneliti asing,” tutup Didik Raharyono.