Pendapat serupa dipaparkan oleh Stanton Samenow, ahli psikologi Yale University dalam tulisannya di Psychology Today. Dia menulis, bahwa predator seksual memiliki banyak pengalaman seksual tetapi dangkal.
"Seks adalah operasi kontrol bagi mereka. Mereka menetapkan waktu dan perjumpaan. Mencari cara menaklukkan adalah aspek utama. Pelaku tidak peduli dengan apa yang dialami 'pasangan'-nya. Idenya adalah untuk menaklukkan tubuh, bukan memiliki hubungan," tulis Samenow.
"Mencapai tujuannya memberi peningkatan. Dia sering memikirkan seks, memandang wanita sebagai target potensial."
Jadi, kepemilikan kuasa adalah yang paling mendasar dalam serangan seksual dan pemerkosaan. Mereka merasa menjadi 'pemilik' dan mengambilnya secara paksa dari targetnya.
"Pria yang memiliki kehidupan seksual yang aktif dan bervariasi di rumah masih menyerang wanita. Merupakan ciri khas bahwa, baik dalam fantasi maupun aksi, mereka merasa paling menarik untuk menggunakan kekuatan dalam melakukan penaklukan," terangnya.
Sebagian, para pelaku juga mengetahui benar dan salah tindakannya. Tetapi, dalam persidangan mereka lebih memilih membela diri sebagai menjadi korban atas sakit psikis yang diterimanya.
Baca Juga: Perempuan India: Pemerkosaan Bukan Seks, Pemerkosaan Adalah Kekerasan
Otak
Penelitian di Annals of sex research (1990) oleh Percy Wright dari Clarke Institute of Psychiatry, Kanada, bersama timnya membandingkan neuroanatomi predator seksual, pedofil, pelaku sekskual, dan non-kekerasan seksual. Hasilnya, kelompok kekerasan non-seksual memiliki volume otak terbesar, yang diikuti pelaku pedofil, pelaku seksual, dan yang terkecil adalah inses.
Otak pada predator seksual memiliki statistik lebih kecil, terutama pada fronto-temporal kiri, dan secara keseluruhan memiliki lebar otak yang kecil.
Bagian fronto-temporal adalah bagian otak yang membuat perencanaan, eksekusi, dan emosi. Tetapi ukuran ini tidak bisa menjadi bukti penurunan terkait akademik, karena banyak penelitian lain yang mengungkapkan ketidakhubungannya.
Dalam kajian pustaka Katelyn T. Kirk-Provencher dari psikologi University of Rhode Island, Amerika Serikat, bersama timnya menulis, ada gangguan yang dialami penjahat kelamin, seperi Alzheimer, gangguan hiperaktivitas defisit perhatian, skizofrenia, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan panik.
Ada juga dituliskan, pelaku kekerasan seksual memiliki kelainan pada otak secara signifikan pada kornu temporal kanan, yang mengakibatkan perilaku sadis seperti penghinaan, perbudakan, dan membuat derita pada orang lain.
Baca Juga: Amati! Inilah Ciri-ciri Umum Predator Seksual di Sekitar Kita
Kirk-Provencher dan tim menulis Neuroanatomical Differences Among Sexual Offenders: A Targeted Review with Limitations and Implications for Future Directions di jurnal Violence and Gender (2020).
"Studi-studi ini menunjukkan bahwa banyak pelaku nonseksual dan menunjukkan kelainan neuroanatomi dibandingkan dengan sampel normal dan pelaku kekerasan non-seksual, dan menyarankan kemungkinan hubungan antara perbedaan ini dan perilaku menyinggung," tulis tim.
Di sisi lain, Kirk-Provencher dan tim mempertimbangkan, metode penggambaran neurotik tidak bisa menjadi rekomendasi pengobatan terapi maupun proses hukum.
Lantaran, beberapa kondisi otak bisa terjadi pada berbagai kasus sakit otak biasa yang tidak ada hubungannya dengan kekerasan seksual, sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut terkait kelainan struktural otak.
"Namun, metode neuroimaging harus terus digunakan dalam upaya penelitian untuk terus lebih memahami etiologi pelanggaran seksual dan untuk merumuskan hipotesis yang dapat diuji, yang pada gilirannya kemungkinan akan memberikan gambaran yang lebih bernuansa dan lengkap tentang pelaku seksual," ungkap mereka.
Baca Juga: Cerita Kejam Keluarga Kanibal dan Inses Sawney Bean Berjumlah 48 Orang