Nationalgeographic.co.id - Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya secara psikologis memiliki peluang untuk menjadi penjahat kelamin, atau predator seksual.
Meski demikian, hanya satu persen saja dari perempuan yang kemungkinan melakukannya, sedang laki-laki bisa tujuh hingga 10 persen. Bahkan tiga sampai empat persen laki-laki mengaku mengincar anak-anak (pedofilia). Sehingga laki-laki lebih berisiko menjadi predator seksual.
Banyak pihak, termasuk psikolog konservatif, menyarankan perkawinan adalah terapi, karena memiliki keuntungan secara reproduksi. Tetapi beberapa kalangan menolak, dan membandingkan kondisi sosial yang diterima pada pelaku seksual perempuan dan pihak perempuan yang akan dinikahi akan sulit mendapatkan tawaran itu.
Melalui tulisan ini, National Geogaraphic Indonesia akan memaparkan bagaimana kondisi psikologis dan isi otak dalam perilaku kejahatan seksual.
Psikologis
Sebuah studi berjudul Sex Offenders, Clinical Psychology of di jurnal International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (2001) menjelaskan, bahwa tindak predasi seksual disebabkan oleh kemarahan dan rasa kuasa.
"Beberapa cendikiawan feminis telah melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa pelanggaran seksual adalah tindakan 'seksual semu' dan itu bukan tentang seks," tulis Gordon C. Nagayama Hall, yang kini menjadi profesor psikologi di University of Oregon.
"Hubungan bermusuhan dengan wanita dapat menyebabkan beberapa pria berusaha untuk memaksakan rasa superiornya pada wanita lewat kekerasan seksual. Beberapa pedofil mungkin juga memiliki motif kemarahan dan kekuatan untuk tindakan mereka."
"Namun, depresi adalah awal yang lebih umum untuk menganiayai anak daripada rasa marah. Salah satu sumber depresi mungkin dirasakan atau ketidamampuan sosial yang sebenarnya dalam hubungan teman sebaya. Kontak seksual dengan anak-anak dapat mewakili metode mal-adaptif dari mengatasi depresi ini," tulisnya.
Hall menambahkan, perilaku agresif secara seksual juga memungkinkan jadi motivasi beberapa bentuk kekerasan seksual. Biasanya penjahat kelamin akan menyangkal atau meminimalkan dampak dari serangan seksual yang dilakukannya.
Baca Juga: Tradisi Menyetrika Payudara Agar Terhindar dari Kejahatan Seksual
Perilaku ini termasuk gangguan kognitif, dan dapat terjadi pada tindak pemerkosaan terhadap yang dikenalinya termasuk hubungan sedarah.
"Seorang pemerkosan pada yang dikenalinya mungkin berpendapat bahwa pemerkosaan tidak dapat terjadi dalam konteks suatu hubungan atau keberadaan suatu hubungan membenarkan jenis kontak seksual yang diinginkan pemerkosa," terang Hall.
Sedangkan pada inses, kontak seksual dimaknai pelaku sebagai bentuk kasih sayang, atau pendidikan seksual, atau sekedar bermain-main. "Dengan demikian," Hall menyimpulkan, "motivasi seseorang yang mengalami gangguan kognitif adalah kontak seksual itu 'normal' dan tidak agresif."
Pendapat serupa dipaparkan oleh Stanton Samenow, ahli psikologi Yale University dalam tulisannya di Psychology Today. Dia menulis, bahwa predator seksual memiliki banyak pengalaman seksual tetapi dangkal.
"Seks adalah operasi kontrol bagi mereka. Mereka menetapkan waktu dan perjumpaan. Mencari cara menaklukkan adalah aspek utama. Pelaku tidak peduli dengan apa yang dialami 'pasangan'-nya. Idenya adalah untuk menaklukkan tubuh, bukan memiliki hubungan," tulis Samenow.
"Mencapai tujuannya memberi peningkatan. Dia sering memikirkan seks, memandang wanita sebagai target potensial."
Jadi, kepemilikan kuasa adalah yang paling mendasar dalam serangan seksual dan pemerkosaan. Mereka merasa menjadi 'pemilik' dan mengambilnya secara paksa dari targetnya.
"Pria yang memiliki kehidupan seksual yang aktif dan bervariasi di rumah masih menyerang wanita. Merupakan ciri khas bahwa, baik dalam fantasi maupun aksi, mereka merasa paling menarik untuk menggunakan kekuatan dalam melakukan penaklukan," terangnya.
Sebagian, para pelaku juga mengetahui benar dan salah tindakannya. Tetapi, dalam persidangan mereka lebih memilih membela diri sebagai menjadi korban atas sakit psikis yang diterimanya.
Baca Juga: Perempuan India: Pemerkosaan Bukan Seks, Pemerkosaan Adalah Kekerasan
Otak
Penelitian di Annals of sex research (1990) oleh Percy Wright dari Clarke Institute of Psychiatry, Kanada, bersama timnya membandingkan neuroanatomi predator seksual, pedofil, pelaku sekskual, dan non-kekerasan seksual. Hasilnya, kelompok kekerasan non-seksual memiliki volume otak terbesar, yang diikuti pelaku pedofil, pelaku seksual, dan yang terkecil adalah inses.
Otak pada predator seksual memiliki statistik lebih kecil, terutama pada fronto-temporal kiri, dan secara keseluruhan memiliki lebar otak yang kecil.
Bagian fronto-temporal adalah bagian otak yang membuat perencanaan, eksekusi, dan emosi. Tetapi ukuran ini tidak bisa menjadi bukti penurunan terkait akademik, karena banyak penelitian lain yang mengungkapkan ketidakhubungannya.
Dalam kajian pustaka Katelyn T. Kirk-Provencher dari psikologi University of Rhode Island, Amerika Serikat, bersama timnya menulis, ada gangguan yang dialami penjahat kelamin, seperi Alzheimer, gangguan hiperaktivitas defisit perhatian, skizofrenia, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan panik.
Ada juga dituliskan, pelaku kekerasan seksual memiliki kelainan pada otak secara signifikan pada kornu temporal kanan, yang mengakibatkan perilaku sadis seperti penghinaan, perbudakan, dan membuat derita pada orang lain.
Baca Juga: Amati! Inilah Ciri-ciri Umum Predator Seksual di Sekitar Kita
Kirk-Provencher dan tim menulis Neuroanatomical Differences Among Sexual Offenders: A Targeted Review with Limitations and Implications for Future Directions di jurnal Violence and Gender (2020).
"Studi-studi ini menunjukkan bahwa banyak pelaku nonseksual dan menunjukkan kelainan neuroanatomi dibandingkan dengan sampel normal dan pelaku kekerasan non-seksual, dan menyarankan kemungkinan hubungan antara perbedaan ini dan perilaku menyinggung," tulis tim.
Di sisi lain, Kirk-Provencher dan tim mempertimbangkan, metode penggambaran neurotik tidak bisa menjadi rekomendasi pengobatan terapi maupun proses hukum.
Lantaran, beberapa kondisi otak bisa terjadi pada berbagai kasus sakit otak biasa yang tidak ada hubungannya dengan kekerasan seksual, sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut terkait kelainan struktural otak.
"Namun, metode neuroimaging harus terus digunakan dalam upaya penelitian untuk terus lebih memahami etiologi pelanggaran seksual dan untuk merumuskan hipotesis yang dapat diuji, yang pada gilirannya kemungkinan akan memberikan gambaran yang lebih bernuansa dan lengkap tentang pelaku seksual," ungkap mereka.
Baca Juga: Cerita Kejam Keluarga Kanibal dan Inses Sawney Bean Berjumlah 48 Orang