Orang Masen Berdamai dengan Gajah

By , Senin, 20 Januari 2014 | 18:09 WIB
()

Perilaku ini yang banyak tidak disadari sehingga ketika penduduk bertambah, maka akan ada kebun baru ataupun pemukiman baru.

Data yang dilansir ICRAF pada 2010 menyebutkan laju perubahan tutupan hutan akibat konversi lahan di Aceh Barat meningkat setelah tsunami tahun 2004, melebihi 4400 haktar per tahun.  Dua per tiga dari perubahan itu ternyata terjadi di wilayah pedalaman. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan tutupan hutan karena tsunami tidak terlalu signifikan.

Sementara itu, berdasarkan analisis spasial Fauna & Flora International (FFI), lebih dari 40 ribu hektar tutupan hutan Aceh berkurang setiap tahun sejak tahun 2006 – 2010.  Pengurangan luas tutupan hutan Aceh disebabkan oleh berbagai aktivitas pembalakan kayu, konsesi perkebunan, pertambangan, pembukaan jalan di dalam kawasan hutan serta perubahan peruntukan lahan lainnya.

Key Species Monitoring Coordinator FFI Aceh, Munawar Kholis, mensinyalir kondisi ini berdampak terhadap meningkatnya intensitas konflik satwa dan manusia. Hutan yang menjadi habitat gajah telah terfragmentasi, demikian juga dengan koridor gajah tidak terkoneksi satu dengan yang lain.

Menurut dia, lintasan satwa di Aceh tercatat dalam analisa FFI sepanjang 3183,26 kilometer. Sementara yang berkonflik sepanjang 981,11 kilometer.  Padahal sekitar 85 persen sebaran gajah sumatera di Pulau Sumatera berada di luar kawasan konservasi termasuk di Provinsi Aceh. 

FFI mencatat sekitar 164 kali konflik antara gajah dengan manusia di rentang 2019 – 2013 hanya di Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie.

“Kalau berkebun atau membuat perkampungan di jalurnya, jangan salahkan gajah bila mereka lewat dan semua menjadi rusak,” Rusli mengingatkan.

Bila kesepakatan batin tidak terpenuhi, maka Rusli segera menyiapkan meriam karbit kecil dari pipa paralon sepanjang kurang lebih 1 meter.  Dia memasukkan karbit kedalam tabung kecil di pangkal meriam, mencampurnya dengan air lalu menggoyangkannya.  Setelah tabung menjadi panas dan asap keluar maka segera dia menyorongkan bara api, dan suara menggelegar pun menggema memekakkan telinga.

Meriam di rumah Rusli tampak sudah tua. Karet yang melilit pipa paralonnya sudah banyak yang rapuh. Di bagian pangkal pipa, tersambung kaleng minyak rem secara vertikal.  Bagian dalam kalengnya juga terlihat berkarat.

Menurut Rusli, warga mulai mendiami Dusun Selamat sejak awal 1980-an.  Namun banjir bandang pada 1987 membuat mereka harus pindah ke pusat desa atau kembali ke kampung halamannya di Desa Masen, desa asalnya.

 Lantaran kawasan perladangan di Dusun Selamat sudah banyak yang ditanami kopi, maka warga kembali lagi pada 1990.  “Namun kami harus meninggalkan dusun pada 2003 lantaran konflik bersenjata di seluruh Aceh yang semakin memuncak,” ucapnya.

Rusli menceritakan, Dusun Selamat kembali ramai didatangi oleh warganya setelah perjanjian damai Helsinki ditandatangani pada 2005. Sejak saat itulah warga Dusun Selamat mulai kembali mengolah lahannya.