Investigasi Terbunuhnya Kapten Tack di Kartasura

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 21 Januari 2014 | 11:05 WIB
Lukisan karya Tirto dari Gresik (1890-an), yang menggambarkan terbunuhnya Kapten Tack. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

 

 
 
Wadana atau halaman muka Babad Tanah Jawi. yang disalin pada abad 19. (Tropenmuseum)
Tampak lembaran wadana atau halaman muka Babad Tanah Jawi yang disalin pada abad 19. Babad ini merupakan karya sastra dalam bentuk tembang yang berkisah tentang raja-raja mataram. Pada 1874-77, J.J. Meinsma menerjemahkan karya sastra ini. Terdapat gambaran orang Jawa tentang watak Kapten Tack yang tengah marah karena ulah Surapati: Sang Kapten itu melemparkan topinya ke tanah, menggigiti kumisnya, dan matanya memancarkan warna merah, sembari mengumpat-umpat.
 
 

 

 
 
Sebuah topeng di Jawa yang merepresentasikan karakter Tack. (Tropenmuseum)
 
Topeng koleksi Tropenmuseum ini menggambarkan raut wajah Kapten Tack menjadi tokoh legendaris. Tewasnya Sang Kapten di tangan laskar Bali dalam pertempuran di Kartasura menginspirasi kisah kepahlawanan Untung Surapati dalam budaya tutur dan babad di Jawa. Sebuah topeng di Jawa merepresentasikan karakter Tack.

Dalam Babad Tanah Jawi, terdapat kisah tentang kemarahan Tack pada saat mendengar Surapati mengamuk. Sang Kapten itu melemparkan topinya ke tanah, menggigiti kumisnya, dan matanya memancarkan warna merah, sembari mengumpat-umpat—“Perdam-perdom.”  Sementara, menurut arsip Belanda semasa, terjadi kebingungan dan kekacauan dalam pasukan VOC. Mereka menembak tanpa membidik, sementara untuk mengisi kembali senapannya perlu waktu. Dalam naungan asap nan gelap, padang-pedang laskar Surapati yang bermata gelap pun dengan mudah menetak mereka. Dalam pertempuran di alun-alun itu Tack turun dari kudanya. Namun, setelah pengawalnya banyak yang tewas, dia pun bermaksud kembali ke kuda tunggangannya. Malangnya, sebelum kakinya menginjak sanggurdi, dia telah tewas terbunuh oleh laskar Bali yang membabi buta. Saat jenazah Tack ditemukan, terdapat 20 luka tusukan berat di tubuhnya. TACK MERUPAKAN KORBAN sandiwara persekongkolan. Prajurit Jawa yang diharapkannya bakal membantu menyergap Surapati justru membelot dan berbalik melawannya. Jikalau Tack tidak gegabah dengan meninggalkan serdadu-serdadu tombaknya di loji VOC, barangkali kisahnya tak akan setragis ini. Saat itu bayonet hanya dikenal di Prancis, sehingga serdadu tombak sangat berperan di setiap pertempuran. “Hanya Tuhan yang tahu, apakah serbuan itu terjadi bukan karena bantuan orang Bali yang mengikuti Sunan,” tulis Letnan Eygel, satu-satunya perwira penyintas pertempuran itu.  Pertempuran Kartasura memakan korban tewas sebanyak 79 serdadu VOC dan satu serdadu dinyatakan hilang. Sementara di pihak Surapati, sekitar 50 orang Bali tewas. Sebanyak 20 luka berat, 15 diantaranya akhirnya tewas dan dimakamkan di tepian Bengawansolo. Sang Letnan juga bersaksi, sekelompok orang Bali berbusana gelap dengan bersenjata tombak yang muncul dan menyergap serdadu VOC dari permukiman. Bagi serdadu-serdadu VOC yang tercerai-berai dan tak sempat mengisi kembali senapan mereka dengan peluru, demikian menurut Eygel, akhirnya mereka tewas terhunus tombak-tombak laskar Bali. Peristiwa yang disaksikan Eygel tampaknya mirip dengan pemerian dalam Babad Tanah Jawi. Sunan, dalam babad tersebut, memerintahkan kepada Pangeran Puger, adiknya, untuk membantu Surapati dengan berhias mirip orang Bali. Babad berkisah juga, bahwa Puger berhasil menewaskan Kapten Tack dengan tombak pusaka Kiai Plered. Arsip VOC dan berita dari Susuhunan menerangkan bahwa pertempuran itu selesai pada tengah hari. Kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya. Sementara François Valentijn, seorang pegawai VOC yang saat kejadian tersebut baru bekerja setahun, mengisahkan Surapati merayakan kemenangan itu dengan berpawai keliling alun-alun. Hingga larut malam, suara gending kemenangan bergaung di Keraton Kartasura. “Pembunuhan Kapten François Tack merupakan salah satu peristiwa yang paling mencolok dalam sejarah VOC,” ungkap Hermanus Johannes de Graff, seorang sejarawan yang berada di Indonesia pada 1926-50. Meskipun demikian, menurutnya, pukulan berat kekalahan VOC itu tidak sebanding dengan perhatian peneliti sejarah tentang topik Tack. “Patut disesalkan,” ungkapnya, “tempat mereka tewas tidak diabadikan dengan sebuah monumen, sekalipun sederhana saja.” Di manakah makam Kapten François Tack? Hingga saat ini berkembang dua pendapat tentang lokasi makamnya: Jepara dan Batavia. Simak kisah selanjutnya tentang makam sejati Sang Kapten yang malang itu.