Teman Baik Saya Pengidap HIV/AIDS

By , Selasa, 21 Januari 2014 | 16:40 WIB

“Banyak sekali LSM dan perorangan yang bergerak di bidang HIV/AIDS. Kebanyakan hanya menyebarkan info pencegahan. Nyaris tiada yang menyentuh langsung, merawat dan memperhatikan dengan kasih sayang, terutama di saat-saat terakhir hidup mereka. Padahal, itulah yang justru mereka perlukan“ – Sitti Soltief

Sitti Nurdjaja Soltief, AMP (Ahli Madya Perawatan), penerima Sidomuncul Award 2002 versi Pekerja Sosial Kemanusiaan dan PBR Papua Award 2007 kategori Perawat Tanpa Pamrih itu dari  media massa sungguh memiliki wajah yang membayangkan senyum. Cermin ketulusan hati.

Perbincangan kurang dari dua jam dengannya di rumah mungilnya yang nyaman di Abepura, Jayapura, 14 Desember 2008, telah mengubah sikap saya selama ini tentang penyandang HIV/AIDS. Tentang sikap acuh tak acuh cenderung sinis dan menghakimi terhadap penyandang HIV/AIDS, yang selama ini kita kenal dengan stigma HIV/AIDS, “Masih banyak pasien penyakit infeksi dan kurang gizi yang lebih pantas diperhatikan daripada penyakit akibat perilaku!“

”Anak-anak yatim piatu dari orangtua ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) paling menjadi pikiran saya. Banyak yang enggan merawat, bukan karena takut, tapi lebih karena tak tahu apa dan bagaimana.”

Sitti (43) mengenang awal keterlibatannya. ”Saya mulai merawat pasien HIV/AIDS sejak 1998. Ada teman kuliah pria di FISIP Universitas Cenderawasih lain jurusan yang saya kenal baik, aktif di Senat Mahasiswa dan kerap memimpin ibadah. Sebut saja,A. Saat itu ia dirawat di rumah sakit tempat saya bekerja sebagai perawat, di ruang kelas 1 VIP, yang satu kamar hanya untuk dua orang. Ada benjolan di ketiaknya, sempat disangka limfoma (kanker getah bening). Dua hari kemudian, hasil pemeriksaan laboratoriumnya muncul: positif HIV/AIDS!

”Semua pasien segera dijauhkan darinya. A sudah di Stadium IV, tahap akhir. Semua perawat yang menangani pun memakai sarung tangan. Tapi dengan sarung tangan, kepekaan jemari kita jadi rendah. Tak bisa meraba urat nadi dengan tepat hingga sering salah tusuk. Ini menambah siksaan bagi A yang siang malam sudah berteriak-teriak tak tahan nyeri.

“Akhirnya saya menawarkan diri merawat A seorang diri. Malam saat menemaninya, saya bilang, ’Jangan terus berteriak-teriak, tambah letih, berdoa saja.’ Dia bilang, ’Saya sudah capek berdoa tak kurang-kurang juga sakitnya.’ Tapi saya perhatikan, ketika ia saya ajak bicara, keluhannya berkurang, melupakan sakitnya sejenak. Untunglah, orangtuanya masih memperhatikan. Seminggu kemudian, A berpulang.“

Setahun kemudian, Sitti pindah ke bagian perawatan paru-paru, dengan banyak pasien TBC. Ternyata, di sini banyak yang positif HIV/AIDS. Sitti menyaksikan lagi peristiwa memiriskan hati.

“Ada dua pasien pria yang kedua orangtuanya saja takut menguburkan. Akhirnya, saya membayar petugas kebersihan untuk membantu mengurus jenazah dan menguburkan mereka. Sejak itu saya berniat untuk merawat pasien HIV/AIDS.“

Mandi dulu! Kata kekasih saya

Niat yang mulia saja tak mudah untuk dijalankan. Tantangan pertama justru datang dari orang-orang terdekat. Termasuk dari sang kekasih, Robert Sihombing, guru SMAN 1 Abepura, yang mengajarkan TIK/Teknik Informasi Komputer dan Sosiologi. Menurut Robert, mengapa repot-repot, urungkan saja, sudah ada yang mengurus para ODHA. Atau, “Tak ada kerjaan lain?” Komentar yang kerap terlontar pada Sitti.

Untungnya, komentar Robert tak mengganggu hubungan keduanya. “Ia hanya menambah persyaratan : tiap kali kami akan bertemu, saya tak boleh mengenakan pakaian dinas perawat. Saya harus mandi dulu!“ Sitti tergelak.

Percakapan kami kadang-kadang tersela oleh beberapa panggilan telepon. Dari jawaban Sitti, saya tangkap, itu telepon dari para pasien, tentang tata cara minum obat dan semacamnya. Menyambung pembicaraan kami, Sitti menjadi serius, tetap dengan sikapnya yang lembut, nyaris tanpa emosi.