Bidadari Halmahera yang Menyelamatkan Hutan

By , Rabu, 22 Januari 2014 | 16:35 WIB

“Kekekek … krrr ….” Burung jantan berbulu dada hijau cerah berkilap ke arah leher membentuk dua berkas itu berloncatan dari ranting ke ranting. Sayapnya mengembang, dari bahunya mencuat sepasang bulu putih, menjulang, lurus atau melengkung simetris ke arah kepala. Sang betina terpikat. Saat kawin, mereka bisa jatuh ke tanah! Dua menit, terbang lagi ke ranting!

Pada 1858, Ali, asisten Alfred Russel Wallace (1823-1913), peneliti petualang asal Inggris, terpikat burung yang hanya hidup di Bacan dan Halmahera ini. Dan 125 tahun kemudian, Pak Anu, panggilan akrab Demianus Bagali (45) pun mengakui pesona si Bidadari Halmahera (Semioptera wallacii) satu-satunya jenis cenderawasih yang hidup di luar Papua. Ia rela mengabdikan hidup demi si bidadari.

Sampai 1982, Anu hidup“biasa“ saja di Kali Batu Putih, Pulau Halmahera, Maluku Utara. Selagi kerja sebagai operator gergaji mesin di sebuah perusahaan HPH, ia menyambut tawaran jadi asisten David Bishop, ahli burung dari Australia penulis buku A Guide to the Birds of  Wallacea, mengantar ke semua lokasi pengamatan burung di Halmahera.

Awalnya, Anu bosan sekali dan ingin berhenti dari kerja mengenali jenis-jenis burung, termasuk nama spesiesnya dalam bahasa Inggris, merekam suara dan membuat sketsa. Sampai suatu pagi ia tersadar, di kebunnya yang hanya 300m dari jalan raya, tinggal Weka-weka, nama setempat untuk Bidadari Halmahera!

Akhirnya dipercayai survei sendirian, Anu berhasil menemukan 114 jenis burung, 23 di antaranya endemik Maluku Utara dan 4 endemik Halmahera. Ia pun membantu survei habitat burung di hutan Aketajawe, Halmahera Tengah dan hutan Lolobata, Halmahera Timur, 1994-1996. Dengan data survei ini, BirdLife International-Indonesia Programme berhasil meyakinkan betapa kayanya jenis burung di dua kawasan seluas 167.300 ha ini hingga ditetapkan sebagai Taman Nasional Aketajawe-Lolobata pada 2004.

Tapi, ketekunan Anu mengorbankan kehidupan pribadi. “Istri pertama yang saya nikahi pada 1975 tak suka saya terus hidup di hutan demi burung. Akhirnya terpaksa kami berpisah pada 1996. Saya menikah lagi dengan wanita yang mau mengerti kecintaan saya pada burung dan hutan, 1997.”

Cobaan kedua, pada 2000, tempatnya tinggal terimbas konflik Ambon.

Pohon-pohon ditebang, burung pun pindah, termasuk Anu yang mengungsi ke Manado. Begitu balik pada 2004, Anu langsung mengamati burung di kebunnya. Tiada lagi si Bidadari. Anu terus mencari, dan akhirnya menjumpai para kawan lama ini sekitar 700m GPS.

“Saya langsung lapor ke Lurah, agar daerah ini tak diganggu. Saya kapling  untuk melindungi habitatnya. Mereka senang makan buah pandan, serangga, karenanya senang di liana yang banyak dirayapi semut dan rayap.“

Anu pun meneruskan 'bisnis' lamanya. Mendirikan Pondok Anu, bangunan kayu bertingkat, terbuka beratap daun palem. Sederhana tapi nyaman untuk tempat bermalam para peneliti dan wisatawan yang ingin menikmati pesona si Bidadari lepas Subuh di Bukit Tanah Putih usai berjalan kaki 2,7km.

“Saya ajak anak-anak putus sekolah untuk mengenali burung-burung itu, mereka tak mau. Malah mahasiswa yang datang dari jauh yang tertarik,“ katanya. Yah, mirip Anu saat pertama kali bertemu David Bishop kan?

Rasanya mereka perlu diberitahu pentingnya burung sampai Anu mau berkorban begitu besar. Banyak yang suka burung kok. Memelihara burung itu naluri manusia. Ingin dekat dengan alam, tapi keliru caranya : ditangkap dan dikurung. Padahal, saat terbang jauh, burung meringankan tubuh dengan mengeluarkan kotoran yang mengandung biji utuh. Penyebar bibit di tengah hutan gundul adalah burung, kotorannya sebagai pupuk. Ia bagian dari rantai makanan.

Jalan tengahnya, boleh saja memelihara burung, asal yang mudah ditangkar. Tapi, seperti disadari Anu, burung paling indah dinikmati ya saat hidup bebas di alam.