Sebagai negara agraris, peluang bisnis di sektor pertanian di Indonesia seharusnya cukup besar. Ini yang menjadi perhatian Kukuh Roxa Putra Hadriyono, seorang lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama di bangku kuliah Kukuh sudah begitu akrab dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan pertanian, termasuk produk pertanian untuk meningkatkan produksi.
Selama ini ia melihat, herbisida atau senyawa untuk menekan laju tumbuhan pengganggu tanaman atau gulma menggunakan bahan aktif kimia sebesar 100 persen. Dosis ini dianggap bisa memberantas gulma. Tapi di sisi lain, penggunaan bahan aktif kimia yang berlebihan sebenarnya akan merusak lingkungan.
Di Indonesia, penggunaan herbisida untuk memberantas rumput pada perkebunan atau pertanian masih sangat tinggi. Itu sebabnya produk minyak sawit tidak bisa masuk ke beberapa negara yang menggunakan standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Permasalahan tersebut yang mendorong Kukuh dan kedua anak muda lulusan IPB lainnya yaitu Sigit Pramono dan Wahyudi untuk menemukan solusi guna menekan penggunaan herbisida. Ketiganya berhasil menemukan "adjuvant" atau bahan campuran untuk menurunkan dosis racun pada herbisida tetapi kualitas mematikan gulma tetap sama.
Adjuvant tersebut bisa mengurangi dosis penggunaan herbisida sebesar 50%. Ketika biasanya petani menggunakan satu liter herbisida untuk menyemprot tanaman, maka dengan tambahan adjuvant, petani hanya cukup dengan menggunakan setengah liter herbisida saja. Bahan tersebut bisa dicampur dengan semua jenis merek herbisida.
Produk yang diberi nama Solut-ioN tersebut telah mengantarkan Kukuh dan teman-temannya mendapat penghargaan sebagai juara pertama di Mandiri Young Technopreneur 2013 di kategori teknologi-non IT.
Ide awal pembuatan produk ini berawal dari kegiatan Festival Pertanian yang diadakan Himpunan Mahasiswa IPB pada tahun 2008. Kukuh beserta ketiga temannya waktu itu kebetulan menjadi panitia pelaksana acara tersebut. Sayangnya, kegiatan tersebut menghasilkan utang sebesar Rp 30 juta yang harus ditalangi ketiganya sebagai panitia pelaksana.
Lantas ia dan teman-temannya bekerja di laboratorium kampusnya dan membantu proyek-proyek dosen untuk melunasi utang tersebut. Dari pengalaman bekerja membantu dosen, termasuk bertemu dengan petani-petani, Kukuh melihat peluang usaha di sektor pertanian sangat besar. Berkat sering terjun ke lapangan, berkomunikasi dengan petani, Kukuh mendapat permintaan dari petani untuk dibuatkan herbisida dengan harga yang lebih murah.
Dari situ, dengan modal Rp50 juta, hasil patungan dengan kedua temannya, mereka pun memulai usahanya pada tahun 2010. Awalnya, mereka mengembangkan produk minyak atsiri, lalu kemudian beralih ke benih padi. Dari keuntungan yang dikumpulkan, mereka mulai ekspansi ke sarana produksi pertanian.
Pada 2012, Kukuh bersama kedua temannya akhirnya mendirikan perusahaan CV Pandawa Putra Indonesia di Banyuwangi, Jawa Timur yang bergerak dalam bidang pertanian. Kukuh menjadi pemimpin perusahaan yang menjual obat-obat pertanian, pupuk organik dan berbagai macam benih padi, yang sebagian besar produknya merupakan buatan mereka sendiri tersebut. Hingga kini, mereka menjual tujuh macam benih padi dan 14 produk sarana pertanian, salah satunya Adjuvant Herbisida.
Awalnya, para petani tidak mudah percaya dengan produk yang mereka tawarkan. Namun berbekal kerja keras dan rajin turun ke lapangan meyakinkan petani bahwa produk mereka berkualitas, produk mereka sedikit demi sedikit bisa diterima petani.
Namun, tantangan membuat herbisida sangat besar. Selain harus berhadapan dengan perusahaan multinasional, pengajuan izin herbisida memakan waktu lama dan biaya yang dikeluarkan pun besar hingga mencapai Rp 200 juta. Kukuh dan kedua temannya terus mencari cara bagaimana tetap bisa memberikan solusi bagi petani untuk mengatasi rumput, tetapi mereka tidak perlu keluar biaya terlalu banyak. "Akhirnya, kami buat adjuvant ini. Ini benar-benar produk baru," ujar Kukuh.
Pembuatan adjuvant herbisida ini berasal dari bahan organik yang mudah ditemukan di alam. Kukuh memerlukan waktu sekitar enam bulan untuk melakukan riset dan pengembangan. Saat mengujikannya ke Kementerian Pertanian, dia harus dilempar bolak-balik ke beberapa laboratorium selam tiga bulan. "Ini karena produknya masih baru, belum ada laboratorium yang mengeluarkan izin pengujian," tuturnya.