Tidak hanya itu, Ibu Kota juga terancam bencana tahunan karena air pasang di laut. Ancaman tersebut belum dapat ditangani karena masih ada enam sungai yang langsung berhubungan dengan laut.
Bertahun-tahun, Pemprov DKI Jakarta berencana membangun tanggul di ujung sungai tersebut, tetapi sampai saat ini tidak juga terlaksana.
”Tanggul itu diperlukan untuk menghindari bencana air pasang laut. Sebab, pasang cenderung naik, sementara air tanah terus turun. Jika tidak dilakukan, wilayah Jakarta makin banyak yang tenggelam,” kata Firdaus.
Pada saat yang sama, kondisi itu tidak mampu diantisipasi. Manajemen bencana di Ibu Kota masih minus. ”Kalau dipakai mengungsi karena kondisi darurat, saat warga tak punya pilihan lain, itu tidak masalah. Namun, kalau halte jadi tempat rutin tujuan mengungsi, itu tidak seharusnya terjadi,” kata Direktur Institute for Transportation and Development Policy Yoga Adiwinarto, Selasa (4/2).
Menurut Yoga, karena banjir selalu bisa diprediksi, seharusnya Jakarta memiliki manajemen bencana yang sudah matang. Hal itu, antara lain, dengan cara merencanakan sejak dini di mana lokasi pengungsian dan memperkuat armada angkutan umum, khususnya angkutan massal, seperti bus transjakarta.
Pengamat perkotaan yang mendalami sosiologi, Yayat Supriyatna, mengatakan, bencana banjir dan kemacetan yang mendera warga Jakarta sebulan terakhir menimbulkan gejala kejenuhan yang hampir merata. Rasa bosan jika berlarut-larut dapat menimbulkan masalah serius. Masalah sosial baru diyakini bakal muncul, yaitu warga jadi kian mengabaikan tanggung jawab dan cenderung mengambil jalan pintas.