Kerap Didera Bencana, Masalah Sosial Baru Hantui Jakarta

By , Kamis, 6 Februari 2014 | 08:40 WIB

Banjir yang bisa diprediksi kedatangannya kembali membuat Jakarta dan sekitarnya kacau-balau. Selama empat pekan terakhir, aktivitas kota ini beberapa kali nyaris lumpuh karena akses mobilitas menuju ke pusat kota dan ekonomi terputus akibat banjir.

Hujan lebat beberapa jam saja mampu melumpuhkan jantung kota. Peristiwa ini terjadi beberapa kali dan kembali terulang pada Rabu (5/2). Bahkan, banjir kemarin mengakibatkan jalan di sekitar Istana Negara terendam air karena sistem drainase tidak mampu lagi menampung limpahan hujan dan rob.

Sejumlah jalan banjir sehingga tidak bisa dilalui sepeda motor dan mobil jenis sedan. Jaringan transportasi umum tidak beroperasi normal. Kepadatan penumpang dan kemacetan terjadi di mana-mana. Angkutan barang dari dan menuju pelabuhan terganggu. Bahkan, jalan tol macet total.

Para penumpang kereta rel listrik (KRL) dari dan ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menumpuk di sejumlah stasiun karena rel di Kampung Bandan terendam. Selain itu, operasional KRL juga mengalami gangguan persinyalan. Kondisi itu mengakibatkan perjalanan sekitar 400.000 komuter terganggu.

Kabar buruk juga terdengar dari angkutan massal milik DKI Jakarta. Kepala Unit Pengelola Transjakarta Pargaulan Butarbutar menyebutkan, perjalanan bus di lima koridor terhambat akibat banjir. Bahkan, tiga di antaranya terhenti karena genangan terlampau tinggi, yakni koridor Pluit-Tanjung Priok, PGC-Harmoni, dan Kampung Melayu-Ancol.

Selain jalur terendam, sejumlah halte bus transjakarta juga dipakai untuk menampung pengungsi, seperti Halte Jembatan Baru, Jakarta Barat.

Banjir di sejumlah tempat itu berdampak terhadap arus lalu lintas di Jalan Tol Sedyatmo dari arah Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Kota Tangerang, ke Jakarta, sejak Rabu siang hingga malam. Sejumlah perjalanan bus Damri dari bandara menuju Jakarta, seperti Lebak Bulus, Kemayoran, Gambir, dan Blok M, terpaksa mengambil rute lain dari biasanya.

Luapan Sungai Ciliwung, kemarin, membuat arus lalu lintas di pusat ekonomi nyaris lumpuh. Mobilitas transportasi orang dan kendaraan terhambat hingga berjam-jam. Dampaknya, meski pusat pertokoan dibuka, sepi pembeli.

Kondisi itu terlihat di Jalan Senen Raya, Kebon Sirih, Prapatan, dan Dr Wahidin. Hingga Rabu malam, Jalan Gunung Sahari Raya di daerah Pademangan dan Jalan Yos Sudarso di daerah Sunter masih terendam air.

Sebagian besar toko di Jalan Gunung Sahari Raya tutup. Jalan itu nyaris tidak aktif pada Rabu pagi hingga siang. Sebab, semua jalur, terutama yang berada di seberang gerbang Ancol Taman Impian, tergenang air hingga setinggi 50 sentimeter.

Hal yang sama terlihat di pusat pertokoan Mangga Dua. Gerai-gerai di pusat bisnis grosir dan eceran tersebut tetap buka, tetapi sepi pembeli. Para konsumen, yang umumnya menggunakan KRL, tidak bisa sampai ke Mangga Dua karena Stasiun Kampung Bandan terendam banjir.

Tanah jenuh

Ahli hidrologi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali, berpendapat, jaringan drainase Jakarta tidak didesain untuk menampung limpasan air hujan saat tanah sedang jenuh. Hal ini terjadi karena satu bulan terakhir hujan terus-menerus mengguyur Jakarta. Drainase yang ada dibangun 30 tahun hingga 40 tahun lalu. Desain ini jelas tidak mampu mengatasinya.

Tidak hanya itu, Ibu Kota juga terancam bencana tahunan karena air pasang di laut. Ancaman tersebut belum dapat ditangani karena masih ada enam sungai yang langsung berhubungan dengan laut.

Bertahun-tahun, Pemprov DKI Jakarta berencana membangun tanggul di ujung sungai tersebut, tetapi sampai saat ini tidak juga terlaksana.

”Tanggul itu diperlukan untuk menghindari bencana air pasang laut. Sebab, pasang cenderung naik, sementara air tanah terus turun. Jika tidak dilakukan, wilayah Jakarta makin banyak yang tenggelam,” kata Firdaus.

Pada saat yang sama, kondisi itu tidak mampu diantisipasi. Manajemen bencana di Ibu Kota masih minus. ”Kalau dipakai mengungsi karena kondisi darurat, saat warga tak punya pilihan lain, itu tidak masalah. Namun, kalau halte jadi tempat rutin tujuan mengungsi, itu tidak seharusnya terjadi,” kata Direktur Institute for Transportation and Development Policy Yoga Adiwinarto, Selasa (4/2).

Menurut Yoga, karena banjir selalu bisa diprediksi, seharusnya Jakarta memiliki manajemen bencana yang sudah matang. Hal itu, antara lain, dengan cara merencanakan sejak dini di mana lokasi pengungsian dan memperkuat armada angkutan umum, khususnya angkutan massal, seperti bus transjakarta.

Pengamat perkotaan yang mendalami sosiologi, Yayat Supriyatna, mengatakan, bencana banjir dan kemacetan yang mendera warga Jakarta sebulan terakhir menimbulkan gejala kejenuhan yang hampir merata. Rasa bosan jika berlarut-larut dapat menimbulkan masalah serius. Masalah sosial baru diyakini bakal muncul, yaitu warga jadi kian mengabaikan tanggung jawab dan cenderung mengambil jalan pintas.