Pengesahan RUU Perlindungan Masyarakat Adat Terancam Tertunda

By , Kamis, 6 Februari 2014 | 17:13 WIB

Pembahasan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMA) lamban. Pengesahan RUU pada periode inipun kemungkinan besar tertunda. Terlebih, DPR akan memasuki masa reses menjelang pemilu legislatif, dan baru aktif pada Mei.

Rukka Sambolinggi, staf ahli Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, RUU ini sudah lama sekali dibahas tetapi belum disahkan. UU ini sangat penting guna menyelamatkan masyarakat adat yang banyak berhadapan dengan konflik dan kriminalisasi.

“Beberapa waktu lalu ada pembakaran rumah masyarakat adat, karena mereka dianggap masuk taman nasional. Padahal, kawasan itu baru sebatas penunjukan. Mereka berlindung di balik UU P3H. Saat ini empat orang masih dipenjara,” katanya saat dengar pendapat di Gedung DPR, Jakarta Rabu (5/2).

Keadaan ini, menunjukkan betapa pengesahan RUU PPMHA sangat mendesak. Banyak hak-hak masyarakat adat dilanggar dan memerlukan penanganan segera.

“UU ini, penting untuk mengoperasionalkan hak masyarakat adat sebagaimana mandat UUD 45.”

Rukka berharap, penjelasan-penjelasan yang  dia sampaikan bisa diterima. Misal soal penggunaan istilah, kelembagaan, dan hak-hak yang diakui. “Mencapai masyarakat adat berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya, harus diatur seperti ini.”

Diskriminasi

Sedangkan Dewi Kanti, perwakilan masyarakat adat Cigugur mengatakan, masyarakat adat selama ini selalu dianaktirikan.

Masyarakat adat kesulitan kala mengurus administrasi catatan sipil seperti KTP dan akta lahir untuk anak mereka.

“Dalam beberapa pasal, kami khawatir ada pengulangan kekeliruan, seperti dalam UU Administrasi Kependudukan. Kami dulu diundang sekali, tapi tidak ada tindak lanjut, tahu-tahu sudah ketok palu. Padahal, masih banyak keberatan kami terutama soal catatan sipil terutama soal pencantuman kolom agama,” katanya.

Dia mengatakan, masyarakat adat banyak penganut kepercayaan. Namun, mereka diberi syarat dan dipaksa memilih salah satu agama atau seolah-olah terlihat berorganisasi. Padahal, dalam tatanan masyarakat adat tidak ada struktur organisasi hanya sesepuh.

Dewi mengatakan, RUU ini masih bias dalam kepentingan perempuan dan mekanisme sanksi adat juga tidak jelas. “Bagaimana menjembatani antara hukum adat dan hukum negara. Perlu juga masukan-masukan dari berbagai pihak, antropolog, budayawan.”

Menurut dia, masyarakat bisa menunggu asal matang. “Bukan seolah-olah masyarakat ingin didaftar sebagai masyarakat adat. Adat bagi kami adalah entitas atau kodrat bukan atas pemberian dan legitimasi negara.”