Menelusuri Jejak Kimiawi Cinta

By , Jumat, 14 Februari 2014 | 08:55 WIB
()

Selama berabad-abad, kita telah membuat syair, kisah, serta lakon tentang siklus cinta, bagaimana terbentuk dan berubahnya seiring waktu. Bagaimana berahi menjerat, dan membuat kita tak berdaya.

Selama ini juga kita mengandalkan berbagai kisah untuk menjelaskan tentang kerumitan cinta. Kini kisah-kisah ini —menjadi bagian semua peradaban— mungkin berubah seiring hadirnya ilmu pengetahuan yang menjelaskannya secara ilmiah.

Penelitian mulai mencerahkan kita mengenai apa yang kita anggap sebagai mitos dan ajaib. Menguraikan rinci tentang unsur-unsur kimiawinya.

Antropolog Helen Fisher adalah sosok yang paling mendekati sesepuh di bidang berahi. Di usia 60 tahun, Fisher sebagai guru besar di Rutgers University, dan ia tinggal di New York, Amerika Serikat. Fisher mencurahkan sebagian besar perhatian dalam karirnya bagi penelitian jalur biokimia cinta dalam segala perwujudannya: nafsu, asmara, keterikatan, serta bagaimana semua ini pasang surut.

“Seorang wanita tanpa sadar memakai orgasme sebagai cara untuk memutuskan apakah pria cukup cocok baginya,” ia mengatakan, “Kalau pria pasangannya tak sabar dan kasar, ia tidak mendapat orgasme, ia mungkin secara naluri merasa pria ini kemungkinan kecil dapat dijadikan suami dan bapak yang baik. Para ilmuwan berpendapat orgasme pada wanita yang munculnya tak menentu, mungkin telah berkembang seperti itu guna membantu wanita membedakan mana pria yang tepat dan yang tidak.”

Salah satu inti dari penelitian Fisher selama sepuluh tahun terakhir adalah memperhatikan cinta dalam arti sesungguhnya. Pernah mendengar istilah dimabuk cinta? Nah, dengan pertolongan mesin Magnetic Resonance ImaMRI, Fisher dan rekan-rekannya, Arthur Aron dan Lucy Brown, mengumpulkan orang-orang yang “telah jatuh cinta habis-habisan” ini sekitar tujuh bulan.

Begitu berada di mesin MRI, orang-orang ini ditunjukkan dua foto, satu foto orang yang tidak mereka kenal, dan satunya lagi foto orang yang mereka cintai.

Apa yang dilihat Fisher memesonanya. Saat masing-masing subyek memandang kekasih hatinya, bagian otak yang terhubung dengan imbalan dan kesenangan—bagian ventral tegmental dan caudate nucleus—menyala. Yang paling menggembirakan Fisher bukan semata ditemukannya lokasi (atau alamat) cinta semata. Namun lebih pada penelusuran pada jejak kimiawinya yang khusus.

Cinta menyalakan caudate nucleus karena merupakan pangkalan yang sarat dengan saraf penerima yang menyebar untuk pemancar saraf yang disebut dopamin. Ini yang dianggap Fisher dan para peneliti lainnya sebagai bagian dari ‘ramuan’ cinta yang tumbuh sendiri dalam tubuh.

Ilmuwan pun kini telah meyakini, asmara bersifat universal dan manusiawi, karena terpatri di benak kita sejak masa purba.

Kembali ke penelitian Fisher. Dalam dosis yang tepat, dopamin menciptakan kekuatan, kegembiraan, perhatian yang terpusat, serta dorongan kuat untuk mendapatkan imbalan. Itu sebabnya saat baru jatuh cinta, kita dapat terjaga sepanjang malam, memandang matahari terbit, berpacu cepat melebihi kemampuan kita. Cinta membuat kita menempuh segala risiko besar, yang kadang-kadang tidak dapat diatasi.

Donatella Marazitti, profesor psikiatri di Universitas Pisa, Italia, meneliti aspek biokimia dalam penyakit cinta. Ia jatuh cinta sebanyak dua kali dan merasakan kekuatannya yang dahsyat. Marazitti menjadi tertarik pada pencarian kesamaan antara cinta dan gangguan obsesif-kompulsif.

Thinkstock

Ia mengukur kadar serotonin dalam darah pada 24 orang yang telah jatuh cinta selama enam bulan terakhir dan terobsesi selama sedikit empat jam sehari.

Para peneliti telah membuat hipotesis, orang dengan gangguan obsesif-kompulsif (OCD) mengalami ketidakimbangan serotonin. Kadar serotonin pada darah orang yang terobsesi dan para kekasih sama-sama 40 persen lebih rendah ketimbang kadar pada orang normal.

Artinya, cinta dan gangguan jiwa mungkin sulit untuk dibedakan.

Meski demikian, penelitian di seluruh dunia rata-rata menegaskan, nafsu berahi biasanya akan berakhir.

Lantas, kenapa cinta membara itu tak tahan lama? Secara biologis, alasan kenapa cinta membara akhirnya pudar, dapat ditemukan dalam cara kerja otak menanggapi meningkatnya dan berdetaknya dopamin yang menyertai berahi dan membuat kita merasa melayang.

Mungkin bagus juga jika cinta yang membara-bara memudar. Apakah kita berhasil memiliki rel kereta api, jembatan, pesawat, mesin faks, vaksin, dan televisi seandainya kita semua terlalu mabuk cinta?

*Artikel ini merupakan fitur yang pernah dimuat di Majalah National Geographic, Februari 2006