Baduy, Maafkan Kami...

By , Senin, 17 Februari 2014 | 18:35 WIB

Menjelang senja, setelah sekitar 5 jam jalan kaki, akhirnya sampailah di Cibeo, satu-satunya kampung Baduy Dalam yang membolehkan tamu menginap, semalam saja. Rumah Ardi, mertua Odong, salah satu pengangkut barang kami yang menikahi putri sulungnya yang cantik, tempat kami menginap, memakai penerangan minyak picung (kluwek). Listrik teu meunang.

Namun di Cibeo, suasana khas Baduy nyaris tak terasa. Sementara saya masih menahan diri tak memotret, tak gaduh, para pedagang orang luar Baduy, serasa di rumah sendiri. Ramai menawarkan barang-barang yang nota bene hasil kerajinan orang Baduy sendiri, bahkan kadang lebih murah dari tawaran Odong. Hampir tiap rumah terisi tamu yang menginap.

Mie instan tampaknya sedang jadi kesukaan, bukan hanya nasi dan ikan asin. Kulit permen bertebaran.

Seorang warga Badui membawa pisang yang diambil dari kebunnya untuk dijual di pasar. (Ulet Ifansasty/Getty Images)

Mandi di sungai, saya sempat lupa menggunakan shampo yang teu meunang. Wanita Baduy memakai ramuan tumbuhan untuk menjaga kemurnian sungai sumber air minum dan mencuci beras itu. Namun di Gajeboh, kampung Baduy Luar tempat kami menginap esoknya, sampah bungkus mie instan menggunung di tepi sungai. Wanita Baduy Luar bahkan memanfaatkan gelas stereofoam bekas mie instan sebagai gayung mandi.

"Ulah kadieu (tak boleh ke sini)," kata seorang wanita tua, halus, ketika saya nyasar ke halaman rumah adat kediaman Jaro, yang biasanya dijaga agar tak dimasuki puluhan tamu.

Suasananya sudah seperti kampung biasa. "Besok datang lagi 250 tamu," kata putra Nasinah, tuan rumah kami. Mungkin, warga Baduy sebenarnya, tak suka kampung mereka berubah. Tapi, terlalu ramah untuk menolak. Maafkan kami ....