Puluhan artikel tentang Baduy dan pemaparan slide ternyata tak cukup memberi bekal bagi saya mengikuti photo hunting bersama Don Hasman, yang sejak 1974 rutin mengunjungi perkampungan "Baduy" di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten itu. Perjalanan pertama ke suku mandiri–bukan terasing dan terbelakang–ini memberi banyak kejutan.
Alih-alih merasakan suasana damai, tenang, sunyi seperti laporan kisah-kisah perjalanan, saya justru cenderung jengah dan merasa bersalah. "Aduh, banyak banget orang sih..." Gumam pria dalam bahasa Sunda ini mungkin jadi gambaran pas.
Untuk melintasi melintasi 42 meter jembatan bambu ke kampung Gajeboh sambil memikul hasil kebun, ia harus menyeruak kerumunan tamu yang tak lagi menghargai aturan setempat. Teu meunang (dilarang) ribut. Suku Baduy tak lagi jadi tuan rumah, bahkan di kampungnya sendiri ....
Perjalanan dengan kereta api ekonomi Merak Jaya dari Tanah Abang, pukul 08.30 cukup menyenangkan. Berangkat tepat waktu dan tiba setengah jam lebih cepat dari perkiraan di Stasiun Kereta Api Rangkas Bitung, pukul 10.30. Dilanjutkan naik colt sewaan sampai Cijahe, batas kendaraan umum diperbolehkan sampai di tapal batas kawasan adat seluas 5.132 hektar itu. Selamat datang di negeri peradaban 2.000 tahun lalu, 120 km dari Jakarta, Indonesia.
Walau kerap bertemu orang Baduy di Jakarta yang menawarkan madu dan hasil kerajinan tangan, menjumpai suku Baduy di tanahnya sendiri, memberi getaran lain. "Kami Masyarakat Adat Kanekes bukan Baduy," kata H Arifin, yang mewakili warga ini dalam pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 1999.
Baduy–untuk membedakan dari Badui, suku padang pasir di tanah Arab–adalah sebutan Belanda, diambil dari gunung dan sungai Cibaduy yang mengalir di batas kampung Kaduketug, berbatasan dengan Ciboleger, kampung terluar, sekitar 75 km selatan Rangkasbitung. Mereka sendiri membagi dalam dua kelompok besar, urang tonggoh, urang girang atau urang tangtu untuk Baduy Dalam di Tangtu Tilu (tiga desa) yaitu Cikeusik, Cikartawana dan Cibeo. Sementara Baduy Luar mencakup 49 desa.
Romal (ikat kepala putih) membedakan pria Baduy Dalam dari Baduy Luar yang mengenakan ikat kepala batik bermotif adat yang dipesan dari Cirebon. Konon, mereka keturunan Sunda Priangan dari Kerajaan Hindu Pajajaran yang menolak masuk Islam dan memilih hidup mengucilkan diri dalam hutan Kanekes di ketinggian 300-775 m dari permukaan laut, bersuhu 20-24 derajat Celcius.
Data Juni 2003 dari Kecamatan Leuwidamar menyebutkan, wilayah adat Masyarakat Adet Kanekes atau Suku Baduy mencakup Desa Kanekes 5.130,36 ha, dengan 2.946 ha hutan lindung dan 2.155 ha hutan produksi. Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) mencatat, warga Baduy berjumlah 1.829 keluarga yang terdiri dari 7.180 jiwa. Baduy Dalam, 248 keluarga (789 jiwa) dari Kampung Cibeo (108 keluarga, 85 rumah, 408 jiwa), Cikartawana (28 keluarga, 24 rumah, 116 jiwa) dan Cikeusik (112 keluarga, 36 rumah, 265 jiwa)
Sekali waktu pada 1995 tercatat lebih dari 1.500 orang melakukan lintas alam atas nama "wisata lingkungan" ke hutan masyarakat Baduy. Bisa dibayangkan kerusakan yang ditimbulkan banyak orang, dari sampah yang disebar hingga "penggemburan tanah."
Suasana macam itu pula yang mungkin terjadi pada perjalanan kali ini. Padahal, ketika itu belum masuk liburan sekolah, hanya akhir pekan biasa. Aja, Artha, Sanip, Odong, pembawa barang dari warga Baduy Dalam meringankan beban perjalanan naik turun bukit yang diwarnai hujan deras.
Sampah bertebaran
Cikeusik dan Cikertawana memang betul-betul tenang, damai dan bersih. Hanya orang Indonesia dan sudah disunat, boleh masuk kawasan Baduy Dalam. Orang bule, mata sipit dan hitam Afrika hanya bisa sampai Baduy Luar.
Suhunan, rumah panggung beratap rumbia, 1 meter di atas tanah dengan tiga anak tangga berjejer mengikuti tinggi rendah tanah yang tak dirapikan. Balok kayu dan bambu jadi tiang penyangga utama, dinding bilik anyaman bambu diikat tali ijuk atau dipasak dengan bambu, teu meunang pakai paku dan besi buatan pabrik. Walau tak mengizinkan tamu menginap, beberapa warga Cikeusik dan Cikertawana ramah menawarkan rebusan daun kuat tulang penghilang lelah dan dahaga.
Menjelang senja, setelah sekitar 5 jam jalan kaki, akhirnya sampailah di Cibeo, satu-satunya kampung Baduy Dalam yang membolehkan tamu menginap, semalam saja. Rumah Ardi, mertua Odong, salah satu pengangkut barang kami yang menikahi putri sulungnya yang cantik, tempat kami menginap, memakai penerangan minyak picung (kluwek). Listrik teu meunang.
Namun di Cibeo, suasana khas Baduy nyaris tak terasa. Sementara saya masih menahan diri tak memotret, tak gaduh, para pedagang orang luar Baduy, serasa di rumah sendiri. Ramai menawarkan barang-barang yang nota bene hasil kerajinan orang Baduy sendiri, bahkan kadang lebih murah dari tawaran Odong. Hampir tiap rumah terisi tamu yang menginap.
Mie instan tampaknya sedang jadi kesukaan, bukan hanya nasi dan ikan asin. Kulit permen bertebaran.
Mandi di sungai, saya sempat lupa menggunakan shampo yang teu meunang. Wanita Baduy memakai ramuan tumbuhan untuk menjaga kemurnian sungai sumber air minum dan mencuci beras itu. Namun di Gajeboh, kampung Baduy Luar tempat kami menginap esoknya, sampah bungkus mie instan menggunung di tepi sungai. Wanita Baduy Luar bahkan memanfaatkan gelas stereofoam bekas mie instan sebagai gayung mandi.
"Ulah kadieu (tak boleh ke sini)," kata seorang wanita tua, halus, ketika saya nyasar ke halaman rumah adat kediaman Jaro, yang biasanya dijaga agar tak dimasuki puluhan tamu.
Suasananya sudah seperti kampung biasa. "Besok datang lagi 250 tamu," kata putra Nasinah, tuan rumah kami. Mungkin, warga Baduy sebenarnya, tak suka kampung mereka berubah. Tapi, terlalu ramah untuk menolak. Maafkan kami ....