Menjadi Relawan Sensus Badak, ke Ujung Kulon dengan Empati

By , Senin, 17 Februari 2014 | 10:16 WIB

Pagi 20 Desember, hari pertama sensus. Pukul 07.00 kami susuri 2 km pasir pantai landai membukit dan tiba di gerbang Transek VIII 45 menit  kemudian. Tunggu 15 menit karena sensus di semua transek dimulai pukul 08.00. Pukul 08.21, 0,5 km dari pantai berjalur naik turun, ada jejak pertama.

“Kurang dari 24 jam,” taksir Jajat (40). Masih tercium bau sangit badak. Arah angin tak bersahabat, dari pantai ke hutan. Jadi badak menjauh begitu membaui kami.

Jajat dan Komang (25) dengan GPS mencari koordinat lokasi, dan mengukur jejak (lebar kuku depan, lebar bagian atas antara kedua kuku samping, lebar bagian bawah antara kedua kuku samping, panjang kuku samping kiri dan kanan), memperhatikan tanda lain macam air seni, kotoran, gesekan, gigitan, kubangan di sekitarnya. Sejak itu, kami diminta melangkah hati-hati dan jeli. Para porter kini diminta jalan di belakang. Banyak pohon langkap, nibung berduri. Kami temukan tiga jejak lagi.

Menurut cerita para petugas, mereka harus naik pohon menghindari badak pada sensus-sensus lalu. Kalau saat itu badak mendekat, saya akan pasrah saja, paling sembunyi di antara rapat pohon, mana kuat memanjat dengan tubuh lemas dan kelebihan bobot begini.

Berbaur rasa antara gairah ingin bertemu dan takut diseruduk badak yang merasa terganggu. Untunglah, badak benar-benar hewan pemalu yang takkan menyerang bila merasa tak terganggu. Saya tertidur lagi sampai pagi.