Menjadi Relawan Sensus Badak, ke Ujung Kulon dengan Empati

By , Senin, 17 Februari 2014 | 10:16 WIB

Saat mengikuti Sensus Badak 2006 di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), saya kira hanya akan dapat pemahaman lebih baik soal pelestarian lingkungan. Ternyata, selama 18-26 Desember itu saya dapat pencerahan motivasi, empati, tenggang rasa, kasih-mengasihi yang jauh lebih menyentuh daripada semua kelas yang pernah saya ikuti.

Akhirnya kesampaian juga menjejakkan kaki di Taman Nasional di ujung barat daya Jawa ini setelah berkali-kali batal. Pada 26 Juni 2004, saya sempat menyelam di Karang Kreta, Karang Copong, Pulau Peucang di barat semenanjung Ujung Kulon tanpa ke daratan karena surface interval (jeda sebelum penyelaman berikutnya) kami habiskan di perahu saja.

Jadi, undangan Balai TNUK ini kesempatan langka yang sayang dilewatkan. Bukan sekadar menikmati alam, tapi petualangan ilmiah, langsung ke zona inti yang amat dibatasi, habitat si satwa maskot badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang jadi dasar utama penetapan Ujung Kulon sebagai taman nasional sejak 1992 dan World Heritage Site oleh UNESCO.

Walau diundang, semua biaya pribadi. “Sebenarnya kami ingin menanggung semua, tapi biasa, anggaran mepet,” ujar Dodi Sumardi sang ketua panitia dalam surel. Yang ditanggung hanya antarjemput tim di jalur sensus yang hanya bisa dijangkau lewat laut. Biaya logistik untuk saya dan porter khusus pembawa beban saya—sleeping bag, kelambu, baju ganti, tambahan makanan kecil dan obat-obatan (terpenting obat antimalaria dan minyak sereh penghalau nyamuk) dan jasa porter.

Track Count with Strip Method, menaksir populasi badak sesuai jejak temuan di transek/jalur pengamatan. Lokasi transek ditetapkan sesuai data penyebaran badak Jawa dari laporan bulanan patroli. Ada 15 transek berwaktu tempuh 2-8 hari dari Selatan ke Utara Semenanjung Ujung Kulon, berjarak antartransek 2 km.

Setelah dilepas Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), 19 Desember 2006 pagi, bergiliran peserta naik sampan yang mengingatkan pada kayak Indian ke kapal motor 33 PK menuju Laban selama 30 menit ke pos pertama. Lewat darat, 12 km harus ditempuh sekitar 4 jam jalan kaki. Kapal tak bisa terlalu merapat ke pantai karena dangkal lumpur. Sekitar 200 m harus jalan dengan lumpur selutut saya. Ini ujian pertama, aduh sulitnya melangkah. Untunglah, ransel kamera dibantu dibawakan seorang peserta yang dengan sabar menggandeng saya lepas dari lumpur.

Sedikit naik turun lewat hutan pantai 2 km, satu jam kemudian pukul 12.00 sampailah kami di Pos Karang Ranjang berpantai karang, pasir kemerahan dan gelombang besar Samudra Hindia.

Kalau lewat darat dari Taman Jaya ke Karang Ranjang 12 km harus ditempuh sekitar 4 jam jalan kaki – 4 km lewat pemukiman penduduk Legon Pakis, yang masuk kawasan taman nasional, lalu 7 km ke pos jaga Kalejetan menyusuri setapak, pantai dan hutan tropis dataran rendah, dan 1 km sampai di Karang Ranjang. Pos ini rumah batu sederhana, dengan dipan, meja kursi kayu dan lantai berdebu. Jagawana harus menderita demi menjaga si badak Jawa.

Sumber-sumber air mengering. Hanya ada sedikit kubangan dengan jejak dan kotoran banteng di dekatnya.

Dari sini, semua tim berpencar sesuai transek. Tim VII dan VIII masih sejalan sampai muara Cibandawoh. Pengap, panas, haus, lemas mulai menyergap walau lewat hutan pandan, pisang, pohon teureup sepelukan dua orang dewasa dan pohon kedondong yang jadi pakan badak.

Beberapa kali kami berhenti istirahat dan minum padahal jarak hanya 4-6 km. Tanah meretak penuh daun kering, angin tak berembus, air minum habis, saya harap ada buah-buahan hutan berair sebagai pengganti. Nihil. Saya mengulum permen, sekadar penambah tenaga walau khawatir tambah haus.

Akhirnya kami tiba di shelter beratap di pantai Cibandawoh, bertemu seorang pria yang akan ziarah ke Pengukusan, petilasan Kian Santang, Prabu Siliwangi selama satu bulan hanya berbekal beras, ikan tunggu dikasih nelayan!

Setelah tenaga agak terkumpul, kami jalan lagi ke muara Cibandawoh untuk bermalam. Pukul 02.00 dini hari hujan turun memupus kekhawatiran kekeringan esok.

Pagi 20 Desember, hari pertama sensus. Pukul 07.00 kami susuri 2 km pasir pantai landai membukit dan tiba di gerbang Transek VIII 45 menit  kemudian. Tunggu 15 menit karena sensus di semua transek dimulai pukul 08.00. Pukul 08.21, 0,5 km dari pantai berjalur naik turun, ada jejak pertama.

“Kurang dari 24 jam,” taksir Jajat (40). Masih tercium bau sangit badak. Arah angin tak bersahabat, dari pantai ke hutan. Jadi badak menjauh begitu membaui kami.

Jajat dan Komang (25) dengan GPS mencari koordinat lokasi, dan mengukur jejak (lebar kuku depan, lebar bagian atas antara kedua kuku samping, lebar bagian bawah antara kedua kuku samping, panjang kuku samping kiri dan kanan), memperhatikan tanda lain macam air seni, kotoran, gesekan, gigitan, kubangan di sekitarnya. Sejak itu, kami diminta melangkah hati-hati dan jeli. Para porter kini diminta jalan di belakang. Banyak pohon langkap, nibung berduri. Kami temukan tiga jejak lagi.

Menurut cerita para petugas, mereka harus naik pohon menghindari badak pada sensus-sensus lalu. Kalau saat itu badak mendekat, saya akan pasrah saja, paling sembunyi di antara rapat pohon, mana kuat memanjat dengan tubuh lemas dan kelebihan bobot begini.

Berbaur rasa antara gairah ingin bertemu dan takut diseruduk badak yang merasa terganggu. Untunglah, badak benar-benar hewan pemalu yang takkan menyerang bila merasa tak terganggu. Saya tertidur lagi sampai pagi.