Stupa Borobudur Difungsikan sebagai Penanda Waktu

By , Selasa, 18 Februari 2014 | 07:50 WIB
()

Kemegahan Candi Borobudur tidak hanya menunjukkan kemampuan rancang bangun nenek moyang bangsa Indonesia yang mengagumkan. Penempatan stupa terawang maupun relief di dinding Borobudur ternyata menunjukkan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan alias astronomi.

Kita dapat menilik aspek astronomi Borobudur misalnya melalui penelitian yang dilakukan Tim Arkeoastronomi Borobudur, Institut Teknologi Bandung.

Penelitian tersebut menunjukkan, stupa utama pada candi Buddha terbesar di dunia itu berfungsi sebagai gnomon (alat penanda waktu) yang memanfaatkan bayangan sinar Matahari. Stupa utama yang merupakan stupa terbesar terletak di pusat candi di tingkat 10 (tertinggi).

Stupa utama dikelilingi 72 stupa terawang yang membentuk lintasan lingkaran di tingkat 7, 8, dan 9. Bentuk dasar ketiga tingkat itu plus tingkat 10 adalah lingkaran, bukan persegi empat sama sisi seperti bentuk dasar pada tingkat 1 hingga tingkat 6.

Jumlah stupa terawang pada tingkat 7, 8 dan 9 secara berurutan adalah 32 stupa, 24 stupa, dan 16 stupa. Jarak antarstupa diketahui tidak persis sama. Pengaturan jumlah dan jarak antarstupa diduga memiliki tujuan atau makna tertentu.

Menurut Ketua Tim Arkeoastronomi ITB Irma Indriana Hariawang, jatuhnya bayangan stupa utama pada puncak stupa terawang tertentu pada tingkatan tertentu menunjukkan awal musim atau mangsa tertentu sesuai Pránatamangsa (sistem perhitungan musim Jawa.

Sebelum korelasi antara bayangan stupa utama dan stupa terawang diketahui, tim terlebih dahulu menentukan bayangan lurus stupa utama saat Matahari berada di garis khatulistiwa. Pada saat itu Matahari terbit tepat di titik timur garis dan terbenam tepat di titik barat garis.

Hasil ini menunjukkan posisi Borobudur sesuai arah mata angin. Arah utara-selatan menunjuk posisi kutub utara Bumi dan kutub selatan Bumi, bukan utara-selatan kutub magnet Bumi. Posisi itu ditentukan tanpa bantuan alat penentu posisi global (GPS).

Dosen Astronomi ITB yang juga anggota Tim Arkeoastronomi Borobudur ITB, Ferry M Simatupang, mengatakan, sekitar tahun 800 M, saat Borobudur dibangun, nenek moyang bangsa Indonesia mampu menentukan arah utara-selatan benar menggunakan bayangan Matahari.

Cara paling sederhana menentukan arah utara-selatan benar adalah menandai bayang-bayang gnomon pada lingkaran simetris. Jika bayang-bayang gnomon pada dua sisi lingkaran yang berseberangan dihubungkan, menunjukkan arah timur-barat benar. Garis yang tegak lurus dengan garis timur-barat benar adalah garis utara-selatan benar.

“Fakta bayangan stupa utama Borobudur sebagai penanda awal musim dalam Pránatamangsa baru temuan awal, masih banyak penelitian lanjutan yang harus dilakukan,” katanya.

Menurut Simatupang, tim meneliti hubungan bayangan stupa utama dengan stupa terawang dalam tiga dimensi. Hasil ini menajamkan garis awal musim yang sudah diperoleh dari citra dua dimensi. 

Penelitian yang dimuat dalam prosiding 7th International Conference on Oriental Astronomy di Tokyo, Jepang, pada September 2010 ini juga berencana melihat apakah posisi stupa atau bayangan stupa memiliki hubungan dengan prediksi gerhana Matahari atau gerhana Bulan. Konfigurasi situs megalitik umumnya memiliki kaitan dengan penentuan waktu, baik kalender maupun prediksi gerhana.