Namun, penelitian ini tidak mudah. Penelitian arkaeoastronomi masih baru di Indonesia. Aspek astronomis dalam candi Buddha juga sangat jarang ditemukan. Ahli dan literatur yang ada pun terbatas. Kerja sama antara astronom dan arkeolog perlu dilakukan untuk lebih memperlancar penelitian.
Pengetahuan astronomi
Sejumlah relief di Candi Borobudur juga menunjukkan kemampuan nenek moyang bangsa Indonesia dalam penguasaan ilmu perbintangan. Hal itu, menurut Irma, salah satunya ditunjukkan dengan gambar perahu-perahu pelaut berbagai ukuran di dinding candi.
Gambar perahu itu menunjukkan mereka adalah bangsa pelaut. Untuk mampu mengarungi lautan, dibutuhkan kemampuan navigasi yang panduan utamanya bintang-bintang di langit.
Salah satu bintang yang menjadi penunjuk arah adalah Bintang Polaris, yaitu bintang yang terletak tepat di atas kutub utara Bumi hingga disebut sebagai Bintang Utara.
Polaris menjadi acuan arah utara bangsa-bangsa di belahan Bumi utara. Nama bintang ini banyak disebut dalam sejumlah manuskrip umat Buddha.
Sebelum tahun 800, Polaris dapat dilihat dari Nusantara di sekitar Borobudur. Bintang terang ini mudah diamati karena hanya bergerak di sekitar ufuk langit. Namun, sejak tahun 800 hingga kini, posisi Polaris semakin di bawah horison akibat gerak presesi (gerak Bumi pada sumbunya sambil beredar mengelilingi Matahari), sehingga Bintang Utara tidak mungkin lagi dilihat dari Nusantara.
Karena Polaris tak bisa diamati, pelaut mencari bintang penanda utara lain, yaitu rasi Ursa Mayor (Beruang Besar). Jika dua bintang paling terang dalam rasi ini, yaitu Dubhe dan Merak, ditarik garis lurus, akan mengarah ke Polaris. Hal ini membuat Ursa Mayor menjadi penanda arah utara lain.
Pentingnya rasi Ursa Mayor bagi masyarakat saat itu ditunjukkan oleh gambar relief bulatan-bulatan kecil pada tingkat ke-4 Borobudur di sisi utara. Tujuh bulatan kecil itu diapit oleh lingkaran besar yang diduga Matahari dan bulan sabit yang dipastikan simbol bulan.
Dari Bumi, Ursa Mayor terlihat sebagai tujuh bintang terang. Nama Dubhe dan Merak berasal dari bahasa Arab. Dubhe dari frasa thahr al dubb al akbar (punggung beruang besar), sedangkan Merak dari kata al marakk yang artinya pinggang— karena posisi di pinggang beruang.
Irma menambahkan, selain Ursa Mayor, tujuh bulatan itu diduga sebagai Pleiades (Tujuh Bidadari). Masyarakat Jawa mengenal kluster bintang terbuka ini sebagai Lintang Kartika. Nama ini berasal dari bahasa Sansekerta krttikã yang menunjuk kluster bintang yang sama.
Kluster (kumpulan) bintang ini populer di Jawa karena kemunculannya menjadi penanda dimulainya waktu tanam.
Dugaan tujuh bulatan itu adalah Pleiades muncul karena hampir semua bangsa memiliki kesan mendalam dengan kluster bintang ini. Bangsa Jepang menyebutnya sebagai Subaru, sedangkan masyarakat Timur Tengah menamainya Thuraya.
Namun, jika diamati dari Borobudur, posisi Tujuh Bidadari ini di dekat arah timur benar saat terbit dan di dekat arah barat benar saat terbenam. Posisi kluster ini tidak cocok dengan letak tujuh bulatan di dinding utara Borobudur.