Orang Religius Meningkat Tahun 2050, Bagaimana Agnostik dan Ateis?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 10 September 2021 | 12:00 WIB
Orang religius akan meningkat pada 2050, bagaimana dengan para agnostik dan ateis? (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.id - Spiritualitas adalah hal yang mendasar bagi sebagian orang agar bisa lebih tenang dalam hidupnya. Biasanya, spiritualitas bisa ditemukan dengan cara perenungan tentang konsep ketuhanan dan keagamaan.

Inilah yang membuat banyak orang berpendapat bahwa agama yang adalah yang ditemukan, bukan diwariskan. Sebagaimana yang kita tahu, sebagian dari masyarakat dunia lebih memilih untuk memeluk agama warisan, agar bisa dianggap patuh dan menghargai orangtuanya, bukan karena menemukannya sendiri.

Akibat perenungan dan perjalanan spirtual, orang bisa memperteguh iman agama yang selama ini dianut, berpindah agama, menemukan keimanan sendiri tanpa harus memeluk institusi agama, dan menemukan bahwa tuhan sebenarnya tidak ada (agnostisime dan ateisme). 

Melalui buku Agnostic, a spritual manifesto, seorang jurnalis Inggris-Amerika Lasley Hazleton mengungkap dirinya sebagai agnostik, dan bukan ateis. Ia memandang dirinya memiliki spiritualitas, tetapi tidak religius atau mengikuti agama yang dilembagakan.

Hazleton tidak sendiri. Dalam laporan Pew Research Center, bahwa masyarakat Amerika menilai dirinya memiliki spiritualitas tetapi tidak religius. Dalam survei, kelompok ini meningkat jumlahnya dari 2012 hingga 2017, dari 19 persen hingga 87 persen. Sedangkan yang beragama dan berspiritualitas turun dari 59 persen menjadi 48 persen.

Hasil survei 2017 itu tidak hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi bisa pada masyarakat di seluruh dunia.

Baca Juga: Ragam Bentuk Meditasi dan Khasiatnya Bagi Kesehatan Jiwa dan Raga

O HOLY DAY. Cahaya lembut lilin menerangi layanan Jumat Agung di Katedral St. James, gereja Armenia (Citra Anastasia)

Namun, Pew Research Center lewat penelitian tahun 2015, mengungkap bahwa diprediksikan orang religius di seluruh dunia akan meningkat 2050. Penelitian yang melibatkan Conrad Hackett peneliti keagamaan di institut itu, menulis hanya 13 persen orang di dunia pada 2050 yang akan menganggap dirinya tidak terafiliasi agama.

Mereka yakin, bahwa Islam akan tumbuh lebih cepat sebagai agama yang dipeluk. Peningkatan itu sekitar 73 persen dari persebaran agama Islam dunia di tahun 2010 hingga 2050 mendatang melalui analisis dan survei mereka. Sedangkan Kekristenan akan ikut tumbuh dengan tingkat yang lebih lambat, sekitar 35 persen.

Baca Juga: Kisah Haru Persahabatan Dua Difabel Muslim dan Kristen dari Damaskus

Bangkit dari pembaptisannya di Sungai Yordan, seorang umat Kristen dari Indonesia mengenakan gaun un (Rahmad Azhar)

Artinya, jika seandainya populasi dunia mencapai lebih dari 9,3 miliar di tahun 2050, maka 2,8 miliar orang di antaranya adalah Muslim, dan Kristiani sebesar 2,9 miliar jiwa.

Peningkatan lainnya juga nampak pada agama lain, seperti Hindu (34 persen), dan Yahudi (16 persen). Atau, sama dengan 1,3 miliar jiwa beragama Hindu dan 16,9 juta orang beragama Yahudi.

Meski jumlah populasinya juga bertambah, orang yang tidak percaya pada Tuhan atau dewa seperti agnostik mengalami penurunan persentase.

Baca Juga: Rastafarianisme: Gerakan Spiritual dan Kelahirannya di Afrika

"Pada 2010, sensus dan survei menunjukkan, ada sekitar 1,1 miliar ateis, agnostik, dan orang yang tidak mengidentifikasi diri dengan agama tertentu. Pada tahun 2050, populasi orang yang tidak terafiliasi diperkirakan akan melebih 1,2 miliar," tulis para peneliti.

"Namun sebagai bagian dari semua orang di dunia, mereka tidak memiliki afiliasi agama diproyeksikan menurun dari 16 persen pada 2010 menjadi 13 persen pada pertengahan abad ini."

Lantas, bagaimana populasi tiap agama bisa bertambah?

Bertambahnya angka pemeluk, mereka analisis berdasarkan tingkat kesuburan atau kelahiran di suatu negara, jumlah populasi pemuda, dan yang berpindah agama. Contohnya, pertumbuhan agama Kristen dan Islam diperkirakan terjadi pesat di Afrika sub-Sahara yang memiliki tingkat kelahiran tinggi, dengan variasi di tiap pemeluk agama.

Baca Juga: Ebeg Banyumasan, Jejak Kreasi Sang Sunan untuk Siar Islam di Jawa

Keluarga Bitin Berek di Desa Jenilu, Atapupu, Atambua merupakan salah satu keturunan Cina Timor yang masih merayakan Imlek (saja) setiap tahunnya dengan tradisi Katolik Timor. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Contoh lainnya, mereka juga memperkirakan umat Muslim di India jumlahnya akan sangat besar pada 2050 dibanding Indonesia, negara yang sebelumnya sempat menjadi pemeluk Islam terbesar di dunia.

Alasan mengapa populasi mereka yang tidak berafiliasi dengan agama yang ada saat ini adalah karena mereka terkonsentrasi di kawasan yang memiliki tingkat kelahiran rendah, dan populasi tua yang lebih banyak, seperti Amerika utara, Tiongkok, dan Jepang, terang para peneliti.

Baca Juga: Kisah Haru Persahabatan Dua Difabel Muslim dan Kristen dari Damaskus

Selain itu mereka juga tinggal di kawasan yang secara statistik berpendidikan tinggi.

"Laporan ini menjelaskan bagaimana lanskap keagamaan global akan berubah jika tren demografis saat ini berlanjut," tulis para peneliti dalam ringkasan laporan mereka.

"Namun, setiap tahun berlalu, ada kemungkinan peristiwa tak terduga–perang, kelaparan, penyakit, inovasi teknologi, pergolakan politik, dll.–akan mengubah ukuran satu kelompok agama atau lainnya. Karena sulitnya mengintip lebih dari beberapa dekade ke depan, proyeksi berhenti pada 2050."

Baca Juga: Mengapa Orang yang Lebih Cerdas Cenderung Ateis? Ini Penjelasannya