Sisa Kerajaan Besar yang Merana

By , Senin, 24 Februari 2014 | 21:41 WIB

Tiada lagi yang tersisa dari kebesaran Kerajaan Samudera Pasai selain nisan, dirham, dan batu akik. Kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berkuasa selama tiga abad, yaitu abad ke-13-16 Masehi, itu makin merana. Ia senasib dengan Lhokseumawe, kota generasi baru Samudera Pasai yang memiliki banyak kekayaan alam, tetapi jauh dari kemakmuran.

Ahmadi (57), warga Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, mengeluarkan dompet mungil dari sepeda motornya. Di dompet itu tersimpan sejumlah batu akik yang sudah digosok. Batu itu berasal dari penggalian di lahan miliknya.

"Silakan dipilih. Saya pukul rata saja, satu batu Rp 50.000," kata Ahmadi. Batu akik warna warni itu lantas dijejerkan di tanah. Ia mengaku banyak mendapat penghasilan dari batu akik. Hasilnya untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Menurut Ahmadi, di Kecamatan Samudera banyak ditemukan batu yang bisa diolah menjadi akik. "Gali tanah sedikit, langsung ada batu," ujar Ahmadi. Ia menunjuk ke arah beberapa lubang bekas galian. Ada batu berwarna coklat kemerahan teronggok di bekas tanah galian. Tekstur batunya mirip karang, permukaannya kasar dan pecahannya mengilap.

Saat kami berjalan melintasi lahan kosong, April lalu, tampak beberapa pecahan keramik berserak di tanah. Pecahan keramik itu berwarna putih, ada pula yang biru.

Di galian lain terdapat susunan batu bata berbentuk seperti tembok. "Ini tembok pusat kerajaan (Samudera Pasai). Kalau yang seperti batu karang merah itu benteng kerajaan," kata Ahmadi bersemangat.

Pusat Kerajaan Samudera Pasai belum pernah secara resmi ditemukan dan diteliti arkeolog. Namun, Ahmadi yakin dalam tanah seluas 4.000 meter persegi peninggalan nenek moyangnya itu terkubur sebagian sisa kota Samudera Pasai.

Ia menunjukkan beberapa lubang bekas galian. Di lubang pertama sedalam 1 meter tampak tumpukan batu bata merah. Di bagian lain terlihat tumpukan batu karang coklat kemerahan. Ahmadi yang menggali lubang-lubang itu.

"Sejak tahun 1970 ada arkeolog yang datang dan menggali kawasan itu, tetapi hanya beberapa saat, kemudian ditinggalkan," kata Ruslan Yunus, pegiat pelestarian situs Samudera Pasai. Kecuali kompleks pemakaman, di sekitar situs batu nisan tidak tampak tulisan bahwa areal tersebut dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya.

Ahmadi mengatakan, karang merah di lahannya sering ia congkel untuk digosok menjadi batu akik. Harga batu akik berkisar Rp 50.000 hingga jutaan rupiah.

Catatan perjalanan

Samudera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia, didirikan Raja Meurah Silu pada 1267 Masehi. Kerajaan ini gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak dengan raja pertama Malik Al Saleh, nama baru Meurah Silu setelah menganut agama Islam.

Situs Samudera Pasai berada di Kecamatan Samudera. Masyarakat di sekitar situs kebanyakan hidup dari berladang dan mencari ikan. Namun, penghasilan mereka lebih banyak dari akik.

Selain akik, uang dirham peninggalan Samudera Pasai banyak dicari warga. Uang logam terbuat dari emas dan beraksara Arab itu berukuran tidak lebih besar dari ujung telunjuk orang dewasa. Warga menjual seharga Rp 700.000 per keping. Menurut Ruslan, uang dirham emas mudah ditemukan setelah hujan saat tanah tergerus air.

Repelita Wahyu Oetomo, arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, mengatakan, hingga sekarang Samudera Pasai masih dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara meski jauh sebelumnya ada Kerajaan Barus di Sumut. Kerajaan itu menjalin hubungan dengan para pedagang Islam sejak abad ke-7. "Bukti fisik peninggalan Samudera Pasai menunjukkan pernah ada raja-raja masa itu. Di Barus belum ada," katanya.

Sebelum Islam datang, Samudera Pasai menganut kepercayaan lain, diperkirakan Hindu-Buddha. Namun, kata Bambang Budi Utomo, peneliti masa Hindu-Buddha dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, jejak kebudayaan Hindu-Buddha secara fisik tak banyak ditemukan di Aceh.

Keberadaan Samudera Pasai banyak ditulis dalam catatan perjalanan para pelaut asing. Catatan perjalanan Beaulieu menyebutkan, bangunan yang paling mencolok adalah istana. Di sekitar istana ada perkampungan, masjid raya, dan pasar. Di sekeliling istana tidak ditemukan benteng pertahanan.

Hal sama disebutkan Nicolaus de Graf, orang Belanda yang datang ke Aceh pada tahun 1641, dan Dampier (Inggris) yang datang pada tahun 1688.

Pedagang keliling umumnya pedagang asing yang kadang kala menetap dan membentuk kampung di dalam kota. Rumah penduduk dibangun menggunakan tiang-tiang bambu setinggi 120-180 cm.

Arkeolog masih mencari bukti adanya perkampungan, pasar, ataupun masjid seperti ditulis para penjelajah asing. Menurut Wahyu, hingga sekarang belum banyak temuan struktur selain makam. Pada pencarian di Cot Astana yang berarti tanah tinggi, para arkeolog menemukan struktur batu bata.

Selain dari catatan perjalanan, keberadaan Samudera Pasai lebih banyak dilacak dari temuan nisan yang membentuk kompleks pemakaman di Kecamatan Samudera. Dari tulisan di batu nisan yang dicocokkan dengan sumber sejarah lain, para ahli menyimpulkan bahwa di kawasan itu ditemukan makam raja-raja Pasai. Sejumlah nisan terbuat dari marmer hadiah dari raja India. Bentuk nisan seperti Taj Mahal. Nisan dari Samudera Pasai tersebar ke perbukitan.

Selain makam raja-raja, kompleks pemakaman para penggawa kerajaan berada di Kecamatan Samudera. Nisan berbentuk batu yang dipahat dengan tulisan Arab bisa dijumpai di kompleks pemakaman Tengku Batee Balee.

Kebesaran Samudera Pasai, dari luas daerah kekuasaan ataupun kekuatan perdagangannya, membuat raja di daerah lain menghormati. Sayang, sampai kini bekas peninggalan Samudera Pasai itu belum dilestarikan.