Penemuan Fosil Gigi Berlubang Terbesar dan Paling Awal Pada Mamalia

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 11 September 2021 | 11:00 WIB
Gambar yang mengilustrasikan rongga di Microsyops. (Keegan Selig)

Nationalgeographic.co.id—Para ahli paleontologi dari University of Toronto Scarborough, Toronto, Kanada melaporkan penemuan sampel gigi berlubang terbesar dan paling awal pada mamalia. Sampel tersebut milik primata prasejarah yang disebut Microsyops latidens yang hidup 54 juta tahun yang lalu di Wyoming.

Dari 1.030 fosil gigi individu (bagian gigi dan rahang) yang ditemukan di Southern Bighorn Basin, Wyoming, Amerika Serikat, diketahui 77 atau 7,48 persen di antaranya menunjukan karies gigi. Temuan tersebut telah dipublikasikan di jurnal bergengsi Nature Scientific Reports pada 9 September 2021.

Keegan Selig dan Mary Silcox dari University of Toronto membandingkan posisi fosil dalam strata sedimen dari Cekungan Bighorn Selatan untuk menentukan umurnya. Fosil dapat diberi penanggalan berdasarkan usia geologi sedimen di mana mereka ditemukan.

Dalam laporannya, peneliti menjelaskan, gigi berlubang atau karies merupakan penyakit yang umum terjadi pada manusia modern, menyerang hampir setiap orang dewasa. Frekuensi karies telah digunakan untuk mempelajari perubahan pola makan pada manusia dari waktu ke waktu, berdasarkan hubungan yang disimpulkan antara kejadian karies dan diet kaya karbohidrat.

Rekonstruksi fragmen rahang atas dan bawah yang mengalami karies. (Keegan Selig)

"Namun, penyakit ini tidak unik untuk spesies kita. Di antara primata non-manusia, ada juga variasi dalam frekuensi karies yang terkait dengan diet, menunjukkan bahwa metrik ini dapat menyediakan mekanisme untuk mempelajari diet dalam konteks yang lebih luas, dan lintas waktu geologis," tulis peneliti.

Sampai saat ini, sangat sedikit penelitian yang meneliti karies di antara mamalia fosil, dan tidak ada yang melakukannya di antara mamalia Eosen yang hidup sekitar 54 juta tahun lalu. Penelitian kali ini adalah analisis sampel karies fosil terbesar yang terbesar dan paling awal yang diketahui.

Baca Juga: Gigi 45.000 Tahun Ungkap Kawin Silang Neanderthal dan Manusia Modern

"Di sini, kami menyajikan analisis sampel karies fosil terbesar hingga saat ini pada spesies mamalia tunggal yang telah punah, Microsyops latidens, primata batang dari Eosen Awal, yang diketahui dari lebih dari seribu spesimen dari Cekungan Bighorn Selatan Wyoming," tulis peneliti.

Para penulis menemukan bahwa spesimen yang paling awal dan terbaru memiliki karies yang lebih sedikit dibandingkan dengan sampel lainnya. Hal itu mungkin menunjukkan bahwa diet primata berfluktuasi antara makanan dengan kandungan gula yang lebih tinggi dan lebih rendah. Selig dan Silcox berpendapat bahwa fluktuasi iklim selama Eosen Awal mungkin berdampak pada pertumbuhan vegetasi dan ketersediaan makanan.

Monyet tamarin yang juga memiliki kecenderungan yang relatif mencemaskan terhadap karies. (Steve Wilson)

Para penulis juga menemukan bahwa ada prevalensi karies yang lebih tinggi pada fosil Microsyops latidens dibandingkan dengan frekuensi yang dilaporkan dalam studi primata yang hidup saat ini. Hanya genus Cebus (seperti capuchin) dan Saguinus (seperti tamarins) yang memiliki prevalensi karies lebih tinggi daripada Microsyops latidens.

"Hasil kami menunjukkan bahwa Microsyops latidens ditandai dengan prevalensi karies gigi yang tinggi, 7,48 persen individu, dengan variasi yang mencolok sepanjang waktu, mencapai 17,24 persen individu dari interval tertentu," jelas peneliti.

Baca Juga: Studi Baru Ungkap Pola Tertawa Bayi Manusia Ternyata Mirip Primata

Interval tersebut, juga dikaitkan dengan perubahan bentuk gigi secara keseluruhan, seperti yang diukur dengan analisis topografi gigi. Analisis tersebut mengukur aspek fungsional dari permukaan mengunyah gigi.

Menurut peneliti, fluktuasi iklim tampaknya memengaruhi pasokan buah yang tersedia untuk Microsyops. Ketika mereka memiliki lebih banyak buah selama periode sekitar 10.000 hingga 20.000 tahun, mereka memakannya. Ketika mereka memiliki lebih sedikit buah, mereka beradaptasi.

"Pengamatan ini menunjukkan bahwa spesies ini mengalami pergeseran dalam pola makan mereka untuk memasukkan lebih banyak buah atau makanan kaya gula lainnya untuk waktu yang singkat," jelasnya.