Alasannya, menurut dugaan peneliti, bisa jadi orang yang depresi cenderung memelihara kucing. Tapi di lain pihak, bisa jadi orang yang depresi memiliki kelakuan yang tidak disukai banyak kucing yang memicu gigitan.
Hal yang terakhir, adalah bukti yang semakin kuat akan adanya hubungan antara kucing dan gangguan mental seseorang. Dan hal itu terkait Toxoplasma gondii yang hidup pada kucing. Orang yang terinfeksi T. gondii yang ditularkan lewat kotoran kucing, memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri, misalnya. Ditemukan bukti pula bahwa parasit bisa jadi memainkan peranan membuat beberapa orang mengalami skizofenia.
Sementara itu penelitian lain menunjukkan perkara gigitan. Tak seperti gigitan anjing, gigitan kucing cenderung tak dianggap berbahaya. Padahal, sebuah penelitian baru menunjukkan, gigitan kucing juga bisa berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari gigitan anjing.
Baca Juga: Selidik Sains: Mengapa Anjing dan Kucing Gemar Dielus di Kepalanya?
Sebuah penelitian menyebutkan, kucing dapat menginjeksi bakteri lebih jauh ke dalam sendi dan jaringan tubuh, yang merupakan tempat sempurna bagi potensi berkembangnya infeksi. Tindakan cepat untuk segera melakukan pengobatan pasca gigitan kucing pun menjadi hal yang sangat dianjurkan.
Penelitian ini juga mengungkapkan, wanita paruh baya disarankan untuk sangat berhati-hati ketika membelai kucing, karena mereka adalah orang-orang yang paling mungkin untuk digigit.
Namun, banyak orang cenderung mengabaikan gigitan hanya karena bentuknya yang kecil, mirip dengan tusukan jarum. Padahal, para ilmuwan mengatakan bahwa gigitan tersebut begitu berbahaya. Tercatat, satu dari tiga orang yang digigit harus dirawat di rumah sakit. Dua di antaranya, memerlukan operasi dalam pengobatannya.
Baca Juga: Anjing dapat Menghubungkan Emosi Manusia Melalui Tindakan Selanjutnya