Singkap Peta Genetika yang Mengungkapkan Nenek Moyang Anjing Modern

By National Geographic Indonesia, Minggu, 12 September 2021 | 15:43 WIB
Selain mengetahui nenek moyang anjing modern, studi ini juga membuka informasi mengenai evolusi penyakit pada jenis anjing tertentu dan mencegah penurunannya. (Elke Vogelsang)

Mengapa manusia bisa bersahabat dengan anjing? Sebuah studi yang dilakukan oleh ilmuwan hewan Monique Udell dari Oregon State University dan Bridgett vonHoldt, seorang ahli biologi evolusioner dari Universitas Princeton, menemukan jawabannya.

“Kita pernah menduga bahwa selama proses domestikasi, anjing mengembangkan kognisi sosial mutakhir yang tidak dimiliki serigala,” kata Udell seperti yang dikutip dari Science Alert 20 Juli 2017.

Namun, ternyata jawabannya berada pada tingkat genetik. Dalam studi tersebut, Udell dan vonHoldt menemukan kemiripan antara kromosom anjing dengan kromosom manusia yang memiliki sindrom Williams-Beuren.

Nenek moyang anjing global saat ini: (A) untuk setiap populasi saat ini, proporsi leluhur yang diperkirakan; populasi di mana satu komponen menyumbang lebih dari 98% dari nenek moyang diciutkan menjadi lingkaran yang lebih kecil; (B) ilustrasi sejarah populasi yang disimpulkan di tiga wilayah dunia. (Bergström)

Sindrom Williams-Beuren adalah kelainan perkembangan yang mempengaruhi fitur wajah manusia dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk kelainan jantung, kelainan pada otak, dan sistem saraf.

Salah satu tanda gejala psikologis sindrom ini adalah sikap hipersosial yang ditandai dengan tidak adanya penghambat sosial. Orang-orang yang memiliki kelainan ini akan bersikap ramah, meski terhadap orang asing, dan memiliki empati yang terlewat tinggi.

Sebelumnya, vonHoldt telah mengamati kesamaan antara varian gen yang bertanggung jawab terhadap sindrom tersebut pada manusia—disebut daerah kritis sindrom Williams-Beuren (WBSCR)—dan keberadaan mereka pada DNA anjing.

Baca Juga: Selidik Sains: Mengapa Anjing dan Kucing Gemar Dielus di Kepalanya?

Dikenal dengan sebutan 'anjing Meksiko tidak berbulu', xoloitzcuintli. Peneliti menemukan kemiripan antara kromosom anjing dengan kromosom manusia yang memiliki sindrom Williams-Beuren. Sindrom ini adalah kelainan perkembangan yang memengaruhi fitur wajah manusia dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan. (Bruev/Thinkstock)

Untuk mengetahui varian yang sama juga menyebabkan sifat hipersosial pada anjing, Udell dan vonHoldt lalu menggunakan 18 anjing peliharaan dan 10 serigala yang bergaul dengan manusia. Mereka melakukan serangkaian eksperimen berbasis perilaku dengan orang yang dikenal oleh hewan-hewan tersebut dan orang asing dalam mengukur keramahan.

Dibandingkan dengan serigala, anjing terbukti lebih mudah bergaul. Kemudian, ketika mengurutkan genom hewan di laboratorium, ditemukan bahwa variasi di wilayah kromosom enam pada DNA anjing sejajar dengan sikap sosial anjing tersebut.

Lebih lanjut, penyisipan genetik (transposons) pada WBSCR yang mempengaruhi protein GIF21 ditemukan sangat terkait dengan hipersosialisme pada anjing. Jika penyisipan genetik lebih sedikit, anjing akan bertingkah layaknya serigala dan suka menyendiri, dan sebaliknya.

Peta genetik anjing modern. Selain mengetahui nenek moyang anjing modern, studi ini juga membuka informasi mengenai evolusi penyakit pada jenis anjing tertentu. (Public Domain)

Anehnya, yang memengaruhi sindrom Williams-Beuren pada manusia bukannya penyisipan, melainkan penghapusan genetik pada kromosom tujuh (setara dengan kromosom enam pada anjing).

Temuan ini pun membuat Udell dan vonHoldt kebingungan. Mereka tak sepenuhnya memahami apa yang terjadi dan dengan jumlah sampel yang sedikit, Udell dan vonHoldt harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan.

Walaupun demikian, penelitan ini adalah langkah maju untuk mengetahui bagaimana genetika dasar memengaruhi perilaku sosial pada anjing dan manusia.

"Kami belum menemukan 'gen sosial', tetapi kami menemukan komponen (genetik) penting yang membentuk kepribadian binatang dan membantu proses penjinakkan serigala liar menjadi anjing," ujar vonHoldt menjelaskan. Temuan ini telah dipublikasikan jurnal Science Advance.

Baca Juga: Mana yang Lebih Berbahaya: Gigitan Kucing atau Gigitan Anjing?