Nationalgeographic.co.id—Pada zaman dahulu, manusia mulai mengadopsi dan membudidayakan anjing untuk memperkerjakan mereka. Oleh karena itu, anjing pun berevolusi mengikuti tugas spesifik mereka, ada yang berkemampuan untuk melawan predator dan ada yang pandai dalam menggembala hewan ternak.
Sekelompok peneliti baru saja mempublikasikan pohon evolusi anjing dalam jurnal Cell Reports. Pohon evolusi tersebut mengurutkan susunan genetika dari 161 jenis anjing untuk mengetahui nenek moyang mereka.
Elaine Ostrander dari cabang genetika kanker dan genomik komparatif di National Human Genome Research yang menulis studi tersebut mengatakan, yang kita temukan adalah empat kelompok penggembala berbeda-beda yang dikembangkan di bagian dunia yang berbeda-beda di waktu yang berbeda-beda juga.
Dia melanjutkan, hal ini sangat masuk akal, karena anjing yang Anda perlukan untuk mengarahkan banteng di lembah tentu harus memiliki kemampuan yang berbeda dari anjing yang menggembalakan kambing di area berbatu-batu, yang juga akan berbeda dari anjing yang digunakan untuk menggembalakan domba di peternakan.
Studi ini juga menemukan bahwa ketika manusia bermigrasi, anjing peliharaan mereka juga ikut bermigrasi.
Anjing Dunia Baru, misalnya. Spesies anjing purba ini bermigrasi melewati jembatan darat Bering bersama nenek moyang suku Indian. Alhasil, gen anjing ini ditemukan pada beberapa jenis anjing modern dari Amerika Tengah dan Selatan seperti anjing tak berbulu dari Peru dan Xoloitzcuintle.
“Komunitas kami sebenarnya telah menduga mengenai adanya gen Anjing Dunia Baru sebelum melihat DNA mitokondria, tetapi ini adalah kali pertama sebuah studi mampu menunjukkannya dan menggali informasi mengenai jenis anjing dan waktu kemunculan mereka dalam sejarah,” kata Ostrander.
Baca Juga: Mana yang Lebih Berbahaya: Gigitan Kucing atau Gigitan Anjing?
Namun, lebih dari sekadar mengetahui nenek moyang anjing modern, studi ini juga membuka informasi mengenai evolusi penyakit pada jenis anjing-anjing tertentu dan mencegah penurunannya.
Selain itu, Ostrander juga berkata bahwa metode ini dapat diaplikasikan kepada gen manusia untuk manfaat yang sama juga.
“Kadang masalahnya adalah gen yang sama atau mutasi yang sama, kadang metode ini menunjukkan jalan yang tidak kita kenal sebelumnya yang ternyata penting untuk penyakit manusia. Metode ini adalah cara yang luar biasa untuk menemukan bagian dari teka-teki genetik manusia yang hilang,” ucapnya.
Baca Juga: Kedekatan Anjing dan Manusia Sudah Terjalin Sejak 14.000 Tahun Silam
Mengapa manusia bisa bersahabat dengan anjing? Sebuah studi yang dilakukan oleh ilmuwan hewan Monique Udell dari Oregon State University dan Bridgett vonHoldt, seorang ahli biologi evolusioner dari Universitas Princeton, menemukan jawabannya.
“Kita pernah menduga bahwa selama proses domestikasi, anjing mengembangkan kognisi sosial mutakhir yang tidak dimiliki serigala,” kata Udell seperti yang dikutip dari Science Alert 20 Juli 2017.
Namun, ternyata jawabannya berada pada tingkat genetik. Dalam studi tersebut, Udell dan vonHoldt menemukan kemiripan antara kromosom anjing dengan kromosom manusia yang memiliki sindrom Williams-Beuren.
Sindrom Williams-Beuren adalah kelainan perkembangan yang mempengaruhi fitur wajah manusia dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk kelainan jantung, kelainan pada otak, dan sistem saraf.
Salah satu tanda gejala psikologis sindrom ini adalah sikap hipersosial yang ditandai dengan tidak adanya penghambat sosial. Orang-orang yang memiliki kelainan ini akan bersikap ramah, meski terhadap orang asing, dan memiliki empati yang terlewat tinggi.
Sebelumnya, vonHoldt telah mengamati kesamaan antara varian gen yang bertanggung jawab terhadap sindrom tersebut pada manusia—disebut daerah kritis sindrom Williams-Beuren (WBSCR)—dan keberadaan mereka pada DNA anjing.
Baca Juga: Selidik Sains: Mengapa Anjing dan Kucing Gemar Dielus di Kepalanya?
Untuk mengetahui varian yang sama juga menyebabkan sifat hipersosial pada anjing, Udell dan vonHoldt lalu menggunakan 18 anjing peliharaan dan 10 serigala yang bergaul dengan manusia. Mereka melakukan serangkaian eksperimen berbasis perilaku dengan orang yang dikenal oleh hewan-hewan tersebut dan orang asing dalam mengukur keramahan.
Dibandingkan dengan serigala, anjing terbukti lebih mudah bergaul. Kemudian, ketika mengurutkan genom hewan di laboratorium, ditemukan bahwa variasi di wilayah kromosom enam pada DNA anjing sejajar dengan sikap sosial anjing tersebut.
Lebih lanjut, penyisipan genetik (transposons) pada WBSCR yang mempengaruhi protein GIF21 ditemukan sangat terkait dengan hipersosialisme pada anjing. Jika penyisipan genetik lebih sedikit, anjing akan bertingkah layaknya serigala dan suka menyendiri, dan sebaliknya.
Anehnya, yang memengaruhi sindrom Williams-Beuren pada manusia bukannya penyisipan, melainkan penghapusan genetik pada kromosom tujuh (setara dengan kromosom enam pada anjing).
Temuan ini pun membuat Udell dan vonHoldt kebingungan. Mereka tak sepenuhnya memahami apa yang terjadi dan dengan jumlah sampel yang sedikit, Udell dan vonHoldt harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan.
Walaupun demikian, penelitan ini adalah langkah maju untuk mengetahui bagaimana genetika dasar memengaruhi perilaku sosial pada anjing dan manusia.
"Kami belum menemukan 'gen sosial', tetapi kami menemukan komponen (genetik) penting yang membentuk kepribadian binatang dan membantu proses penjinakkan serigala liar menjadi anjing," ujar vonHoldt menjelaskan. Temuan ini telah dipublikasikan jurnal Science Advance.
Baca Juga: Mana yang Lebih Berbahaya: Gigitan Kucing atau Gigitan Anjing?