Mengutip Bukan Tabu di Nusantara karya Achmad Sunjayadi, pada 1609 ketika VOC hendak berdiri, 36 perempuan dari Belanda pernah dikirimkan menggunakan kapal. Mereka adalah istri serdadu dan pegawai VOC yang dikirim ke Ambon dan Jayakarta (Batavia kemudian).
Dilaporkan dua di antaranya meninggal dalam pelayaran 10 bulan itu. Dan nasib perempuan tidak diketahui setibanya di tanah koloni.
Jan Pieterszoon Coen yang menjadi gubernur jenderal satu hingga dua dekade setelahnya ingin melakukan hal serupa, setelah melihat pergundikan dan pelacuran terjadi. Rencana ini bertujuan "Supaya orang-orang kompeni bisa mendapatkan pasangan yang pantas untuk tinggal di koloni, maka kirimkanlah kami perempuan-perempuan muda," tulis Coen dikutip Sunjayadi.
Baca Juga: Kekayaan Google atau Apple, Tidak Mampu Menandingi Kekayaan VOC
Tak hanya gadis, J.P Coen bahkan mengusulkan agar orang-orang Belanda mau bermigrasi ke Hindia Timur bersama keluarganya masing-masing. Dia mengirimkan surat kepada Heren XVII yang berisi para direktur bisnis VOC dengan menawarkan, "Jika perempuan tersedia, pasar-pasar perdagangan di Hindia akan menjadi milik Anda."
Dia mengusulkan agar 400 hingga 500 anak laki-laki dan perempuan didatangkan dari panti asuhan di Belanda. Laki-laki dan perempuan yang dikirim harus dua banding satu, dan perempuan adalah 2:1, dan yang perempuan akan tinggal di sekolah khusus yang akan dibiayai Kompeni hingga mereka dewasa nanti untuk dinikahkan dengan pria Belanda yang baik.
Tawaran Coen dikabulkan pada 1621, dengan dikirimkannya tiga keluarga bersama beberapa gadis muda menuju Batavia. Berdasarkan catatan harian yang disimpan di Batavia yang dikutip Sunjayadi, ada enam perempuan yang kebanyakan adalah lajang, dari usia 11 hingga 20 tahun. Mereka disebut sebagai compagniedochters (putri-putri kompeni).
Mereka harus menandatangani kontrak tinggal selama lima tahun di Hindia, seperti pegawai VOC lainnya. Tetapi mereka tidak mendapatkan upah, mereka akan mendapat 'mas kawin' dari kompeni jika berjodoh di sana.
"Para perempuan itu jelas merupakan anak yatim piatu atau berasal dari keluarga miskin karena tidak mungkin mereka yang berasal dari kalangan terhormat diizinkan oleh keluarganya berlayar melintasi lautan menuju Hindia yang penuh bahaya," tulis Sunjayadi dalam bukunya. Dia adalah pengajar di Program Studi Belanda di Universitas Indonesia.
Baca Juga: Kisah Flying Dutchman, Kapal Era VOC yang Tak Pernah Bisa Berlabuh