Senin (3/3/2014), jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Untuk makan malam terbilang sudah agak terlambat. Akan tetapi, sejumlah pembeli masih terlihat mengerubungi Kedai Masakan Padang Nasi Kapau Asli ”Bareh Solok” di salah satu sisi Jalan Kramat Raya, Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
Pengelola kedai tersebut, Emmi (53), sibuk memberikan arahan kepada lima pekerja sembari sesekali menerima uang pembayaran hasil pembelian nasi dan lauk.
Kapau adalah nama salah satu nagari di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Sementara Emmi berasal dari Nagari Muaro Paneh, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat.
Penanda utama asal Emmi dan kedai nasi di pinggir jalan itu adalah nama ”Bareh Solok” atau beras yang berasal dari Kabupaten Solok. Beras itu juga yang membuat sebagian pelanggan, seperti Asrial (54), selalu datang dan datang lagi. ”Saya langganan sejak tahun 1981,” kata Asrial. Malam itu, Asrial datang bersama kawannya, Hendrik (40).
Bagi Asrial yang berasal dari Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, seleranya pada masakan Minang dan bareh Solok tidak bisa putus begitu saja. Padahal, dia sudah sangat lama tinggal di ibu kota Jakarta.
”Bahkan di rumah, sekalipun istri saya bukan berasal dari Minang, lauk-lauk yang disajikan adalah masakan Minang,” kata Asrial.
Sementara saat beraktivitas di luar rumah, kedai-kedai yang menawarkan masakan Minang, seperti yang dikelola Emmi, menjadi tujuan Asrial.
Aneka menu, seperti itiak lado ijo, kapalo kakap, sop iga, rendang, dan sebagainya yang seperti dikunci dengan bareh Solok, telah mengikat banyak orang untuk menikmati.
Bagi penikmatnya, bareh Solok mempunyai kekhasan yang tak tergantikan setelah diolah menjadi nasi. Strukturnya yang tidak melekat dan agak memburai serta cenderung pera, tetapi pada saat bersamaan juga lembut dan wangi, telah membuat penikmatnya sulit berganti selera.
Apalagi, jika dinikmati dengan kuah aneka gulai atau rendang yang membuat komposisi sajian terasa makin memanjakan indra pencecap. Bagi Emmi, kegemaran para pelanggannya itu berarti sekitar 30 kilogram bareh Solok tandas dalam sehari. Biaya sewa
Bagi Emmi, sehari berarti mulai pukul 15.00 hingga pukul 03.00 selama tujuh hari dalam sepekan. Saat bulan suci Ramadhan, kedai itu bahkan buka hingga menjelang waktu imsak. Akan tetapi, sebelum waktu berbuka, penjualan nasi tidak dilayani. ”Bulan puasa hanya jual samba (lauk pauk),” ujar Emmi.
Dengan biaya sewa tempat yang kini dikutip Rp 29.000 per hari dan listrik Rp 250.000 sebulan, Emmi memang harus bergiat. Itu membuatnya harus terus mendatangkan beras khusus itu dari kampungnya.
”Sekali datang lima karung, setiap karung berisi 50 kilogram beras,” tambah Emmi.