Melalui Kekuatan Iman, Bambu Runcing Bisa Jadi Senjata Mematikan

By Galih Pranata, Selasa, 14 September 2021 | 14:00 WIB
Barisan laskar bambu runcing melalui sebuah jalan sekitar tahun 1946. (ANRI)

Nationalgeographic.co.id—Ada yang menggerakkan kaum muslimin Parakan dalam tampil mati-matian menghadapi tentara Jepang. Kekuatan iman dan dorongan yang kuat melawan kemungkaran, jadi alasan utama bagi mereka untuk bangkit mengusir penjajah. Bermodalkan bambu runcing, tekad dan mental yang dibalut dengan iman, membuat mereka berada di garis terdepan melawan musuh.

Waktu itu di Parakan, Kabupaten Temanggung, pasukan Jepang telah mendarat, berhasil mengusir pengaruh Belanda. Sesama Asia, mulanya Jepang dipuja-puja. Ya, mereka berhasil mengusir dominasi Eropa di Nusantara selama kurang lebih 300 tahun lamanya. Meski begitu, nyatanya perlahan, masyarakat mulai menyadari maksud dan akal bulus Jepang untuk menduduki Parakan.

Ahmad Adaby Darban, salah seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada, dalam laporan penelitiannya berjudul Sejarah Bambu Runcing tulisannya tahun 1988, mengisahkan tentang seluk beluk kemunculan bambu runcing dikalangan muslimin Parakan pada masa pendudukan Jepang.

 

"Pasca kemerdekaan, pemindahan kekuasaan Jepang ke tangan bangsa Indonesia, khususnya di wilayah Temanggung, tidaklah berjalan lancar" tulisnya. Pasukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kala itu dipimpin oleh Bambang Sugeng dan Suyoto, berupaya melucuti persenjataan Jepang.

"Kondisinya waktu itu, Jepang dibuat tidak berkutik, beberapa dari mereka melarikan diri ke gua-gua untuk menyelamatkan diri" tambah Darban. Di kemudian hari, terjadi insiden Ngadirejo, dimana beberapa tentara Jepang keluar dari persembunyiannya untuk mengamati penduduk desa, hingga diketahui dan terjadi pertempuran.

Salah satu tokoh dibalik perjuangan melawan Jepang ialah sosok ulama, Kyai Subchi. Ia merupakan ulama yang merakyat dan berwawasan luas. Tak heran, ia dijadikan pemimpin informal bagi masyarakat Parakan.

"Dalam menggelorakan semangat perjuangan, Kyai Subchi menginisiasi berdirinya Barisan Muslimin Temanggung (BMT) pada tanggal 30 Oktober 1945" tulisnya. Berdirinya BMT menjadi salah satu benteng pertahanan Republik Indonesia di wilayah Temanggung.

Baca Juga: Napak Tilas Perjuangan Perang Dipanagara di Sekitar Borobudur

Gerilyawan di Jawa yang bersenjatakan bambu runcing dan senjata rampasan dari Jepang, sekitar 1946 (Mahandis Yoanata Thamrin)

Muhammad Muchsinuddin dalam skripsinya yang berjudul Kyai Sebagai Pelopor Kemerdekaan (Studi Kontribusi Kyai Subchi Parakan dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan 1945), publikasi tahun 2016, mengisahkan pergolakan perjuangan serta peranan Kyai Subchi dalam melawan Jepang.

"Saat itu, kyai sangat dihormati di masyarakat. Meskipun tak memiliki jabatan di pemerintahan, kyai sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam masyarakat" tulisnya. Maka dari itu, di wilayah Temanggung dikenal dengan sosok kyai sebagai pemimpin informalnya.

"Para kyai kemudian mewarisi ruhul islami atau semangat islam, yaitu seruan jihad di jalan Allah untuk memerangi segenap kemungkaran yang dilakukan oleh bangsa asing" tambahnya. Melalui kekuatan iman dan takwa kepada Allah, itulah yang dapat menggerakan masyarakat Temanggung dalam menentang penjajahan.

Baca Juga: Dari KMB ke Pepera 1969, Sekelumit Kisah Sejarah Indonesia dan Papua

 

Melalui bambu runcing, perjuangan kaum muslimin bergelora. Penggunaan bambu runcing sebenarnya telah ada jauh sebelum masa pendudukan Jepang, hanya saja menjadi lebih populer saat diperankan oleh para umat muslimin di Parakan dan Temanggung.

"Dialog antara Kyai Subchi dan Haji Noer, menghasilkan keputusan menggunakan cucukan atau bambu runcing sebagai senjata perang terhadap jepang" tulisnya. Bambu runcing dipilih lantaran mudah dibuat, tidak memiliki banyak biaya juga. Selain itu, bambu memiliki sifat membahayakan atau mematikan bila melukai tubuh manusia.

Berbekal bambu runcing dalam menghadapi sisa-sisa tentara Jepang, Kyai Subchi menggembleng iman rakyatnya dengan ungkapan, "hidup dan mati kita di tangan Allah, mati dalam perang itu syahid, sorga adalah hadiahnya".

Baca Juga: Membuka Pesan di Balik Lagu Internationale untuk Perjuangan Buruh

Potret Kyai Subchi, pahlawan dari kaum ulama, menjadi salah satu tokoh yang menginisiasi penggunaan bambu runcing dalam medan pertempuran. (UNINUS)

Menjelang perang, pada moncong-moncong bambu runcing ditiupkan do'a-do'a dari para kyai. Ritual ini disebut sebagai penyepuhan, yang dilakukan setelah shalat dzuhur. Pasukan Jepang akhirnya berhasil dipukul mundur. "Pekikan takbir sambil menghunuskan bambu runcing adalah bukti semangat perjuangan keislaman yang digelorakan" tulis Muchsinuddin. 

Selepas peristiwa pertempuran di Parakan, BMT kemudian turut andil dalam perlawanan menghadapi sekutu dalam agresi militer Belanda yang berkecamuk pada 1948. Bambu runcing yang menjadi khas 'Barisan Kyai' (BMT), berhasil juga membunuh para serdadu sekutu, hingga akhirnya mengusir sekutu dari Indonesia.

Semangat-semangat tersebut dilandasi pada keimanan. Adanyta seruan dan semboyan yang berbunyi "cinta tanah air sebagian daripada iman" yang menggugah semangat perjuangan. Douwes Dekker dalam pandangannya menyebutkan bahwa "kalau tanpa semangat islam, maka sudah lenyap kebangsaan dari bumi Indonesia".

Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan