Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Filosofi Taoisme asal Tiongkok?

By Agnes Angelros Nevio, Rabu, 15 September 2021 | 12:00 WIB
Penggalan lukisan 'Tiga Pencicip Cuka', lukisan Jepang abad ke-16 karya seniman sekolah Kanō selama periode Mromachi. Konfusius, Buddha Gautama, dan Laozi yang melambangkan kesatuan Konghucu, Buddha, dan Taoisme. (Tokyo National Museum )

Kepercayaan

Teks Tiongkok lainnya yang berkaitan dengan Taoisme adalah Chaung-Tzu (juga dikenal sebagai Zhuangzi, ditulis oleh Zhuang Zhou, ± 369-286 SM) dan Daozang dari Dinasti Tang (618-907 M) dan Dinasti Sung (960-1234 M). ) yang disusun pada akhir Dinasti Ming (1368-1644 M). Semua teks ini didasarkan pada jenis pengamatan yang sama terhadap alam dan keyakinan bahwa manusia pada dasarnya baik dan hanya membutuhkan pengingat sifat batin mereka untuk menegakan kebajikan atas kejahatan. Tidak ada "orang jahat" menurut prinsip Tao, hanya orang yang berperilaku buruk. Dengan pendidikan dan bimbingan yang tepat untuk memahami cara kerja alam semesta, siapa pun bisa menjadi "orang baik" yang hidup selaras dengan bumi dan dengan orang lain.

Menurut kepercayaan ini, ajaran Tao sesuai dengan alam sedangkan perlawanan terhadap Tao tidak wajar dan menimbulkan gesekan. Cara terbaik bagi seseorang untuk hidup, menurut Taoisme, adalah tunduk pada apa pun yang dibawa kehidupan dan bersikap fleksibel. Jika seseorang beradaptasi dengan perubahan dalam hidup dengan mudah, orang itu akan bahagia; jika seseorang menolak perubahan dalam hidup, orang itu akan tidak bahagia. Tujuan akhir seseorang adalah untuk hidup damai dengan jalan Tao dan mengakui bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup harus diterima sebagai bagian dari kekuatan abadi yang mengikat dan bergerak melalui segala sesuatu.

Baca Juga: Tan Pek Hauw 'Sang Kungfu Master' Legendaris Asal Kabupaten Tegal

Gunung Laojun di Luoyan, Provinsi Henan, Tiongkok adalah situs suci bagi penganut Tao. Ratusan Taois memulai ziarah setiap tahun bersama dengan turis dari seluruh dunia untuk melihat situs spektakuler ini. ( HelloRF Zcool / Shutterstock)

Filosofi ini berhubungan erat dengan Logos para Romawi stoik seperti Epictetus dan Marcus Aurelius. Mereka mengklaim Logos adalah kekuatan akal dan bahwa tidak ada yang terjadi menurut Logos yang buruk; hanya interpretasi orang tentang apa yang terjadi membuat keadaan itu tampak buruk. Taoisme mengklaim hal yang sama: tidak ada yang buruk dalam dirinya sendiri, hanya kepentingan diri kita yang membuat kita berpikir bahwa beberapa peristiwa dalam hidup itu buruk dan yang lain baik. Sebenarnya, semua hal terjadi sesuai dengan aliran Tao dan, karena Tao itu alami, semua hal adalah alami.

Tidak seperti Buddhisme (yang berasal dari India tetapi menjadi sangat populer di Tiongkok), Taoisme muncul dari pengamatan dan kepercayaan orang-orang Cina. Prinsip-prinsip Taoisme sangat mempengaruhi budaya Tiongkok karena berasal dari masyarakat itu sendiri dan merupakan ekspresi alami dari cara orang Tionghoa memahami alam semesta. Konsep pentingnya keseimbangan yang harmonis sangat cocok dengan filosofi Konfusianisme yang sama populernya (juga asli Tiongkok). Taoisme dan Konfusianisme sejalan dalam pandangan mereka tentang kebaikan bawaan manusia tetapi berbeda dalam cara membawa kebaikan itu ke permukaan dan mengarahkan orang untuk bertindak dengan cara yang lebih baik, tidak mementingkan diri sendiri.

Baca Juga: Perlombaan Panjat Pinang Berakar dari Tradisi Pecinan Nusantara