Trauma Jumat Pon Bagi Warga Banyuwangi

By , Kamis, 3 April 2014 | 09:25 WIB

Siti Hasanah menikmati sepiring mie instan yang dimakan bersama Sholeh, suaminya. Sesekali Siti Hasanah memperbaiki kain gendongan yang menutupi tubuh anaknya yang masih berusia 2 tahun.

Perempuan ini mengaku baru sempat makan, Kamis (3/4/2014) dini hari itu, setelah diserang panik sejak sore. Peringatan waspada tsunami memicu kepanikan tersebut. Rumahnya di Dusun Pancer, Desa Sumber Agung, Banyuwangi, Jawa Timur, hanya berjarak 100 meter dari bibir pantai. Satu lagi, ada trauma tsunami pada 1994.

Peringatan tsunami pada Rabu (2/4) petang datang dari otoritas resmi, Badan Nasional Pengendalian Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Pemicu peringatan itu adalah gempa berkekuatan 8,8 skala Richter di Cile, yang terjadi Selasa (1/4) malam waktu setempat atau Rabu pagi WIB.

Berdasarkan peringatan tsunami itu, gelombang tinggi yang khas dari pola gempa tertentu tersebut diperkirakan tiba di Indonesia sekitar 20-an jam dari kejadian gempa. Bagi 4.000-an warga Pancer seperti Hasanah, tak ada pikiran selain sesegera mungkin mengungsi.

Jumat Pon 20 tahun lalu

Kepanikan warga Pancer, bisa jadi lebih banyak dipicu trauma peristiwa hampir 20 tahun lalu. Pada 2 Juni 1994, kampung mereka mereka diterjang tsunami. "Saat itu saya belum menikah. Kejadiannya dini hari. Tiba-tiba saja ombaknya tinggi sekali," kenang Hasanah.

Tubuh Hasanah sempat terseret gelombang tersebut. "Saya bisa pegangan bekas pohon kelapa," ujar dia dengan mata menerawang. Hari itu, Jumat dengan pasaran pon menurut penanggalan Jawa, 239 warga dusun Pancer tewas sebagai korban tsunami.

"Tadi saya sempat ngobrol sama tetangga, katanya Jumat (4/4) ini Jumat pon. Persis 20 tahunnya tsunami di sini. Jumat pon keramat," tutur Hasanah dengan suara lirih dan bergetar. Dia mengaku trauma itu belum hilang melihat ganasnya gelombang menelan dusunnya, meski sudah nyaris 20 tahun lalu.

Hasanah pun bertutur, dia sempat mencari kerang di pantai pada Rabu sore. Dia mengaku terkejut air laut saat itu terlihat surut lebih jauh ke tengah. "Saya langsung takut setengah mati karena tanda-tandanya sama kayak 1994," ujar dia. Ditambah, ada informasi dari kerabat yang mengatakan memang bakal ada tsunami pada Kamis pagi.

Maka, tak pakai pikir panjang atau menimbang apa pun lagi, Hasanah mengungsi ke balai desa bersama keluarganya. Tak perlu pula untuk tahu lokasi negara bernama Cile dan paparan bagaimana kampungnya bisa terancam tsunami lagi.

Hasanah semula meminta Sholeh membawa keluarga mereka mengungsi ke bukit Babakan. Namun, kondisi kesehatan anak mereka membuatnya mengalah mengungsi ke balai desa.

"Maunya ke Babakan kan di sana hutan perbukitan pasti aman, tapi anak saya kasihan digigit nyamuk," ujar Hasanah. Dia sedikit terhibur karena banyak kerabatnya juga mengungsi di sini. "(Lagi pula) dulu daerah sini nggak kena tsunami karena jaraknya ya lumayan jauh ada kalau 7 kilo dari Pancer" katanya.

Menurut ibu beranak satu ini, balai desa Sumber Agung memang lebih dikhususkan untuk perempuan, anak-anak, dan orang tua. "Kalau yang punya keluarga ya nyebar sudah kemana-mana," katanya.

Sholeh mengaku tak sempat membawa barang apa pun dari rumah. Hanya baju melekat di badan dan selimut untuk anaknya yang terbawa. "Yang penting nyelamatin nyawa dulu. Nanti kalau sempat saya ke mau balik ke rumah mau ambil ganti baju," kata dia.

Miswati, warga lain dari dusun yang sama, menuturkan kepanikan dan ketakutan yang sama dengan Hasanah. Dia bahkan memperlihatkan bekas luka yang dia dapat dari tsunami pada 1994, saat dia terseret ombak dan lehernya sobek terkena kayu rumah.

Masih jelas di ingatan Miswati, darah mengucur deras dari lukanya saat itu. Posko kesehatan dan puskesmas tak bisa merawatnya. Dia harus dilarikan ke pusat kota Banyuwangi untuk menjalani operasi. "Itu pun beberapa hari setelah kejadian. Saya trauma sekali sama yang namanya tsunami," ujar dia sembari mengusap matanya yang seketika berkaca-kaca.

Peristiwa 20 tahun lalu sudah dibuatkan tugu sebagai peringatan. Namun trauma itu belum hilang. Begitu berada di pengungsian, beberapa warga mulai bertanya-tanya ketiadaan petugas pemerintah yang datang ke dusun mereka untuk memberikan peringatan tsunami.

"Justru teman-teman wartawan yang datang duluan," ujar Miswati. Di lokasi pengungsian ini pun hanya ada air dalam kemasan. "Katanya besok mau buat dapur umum di sini. Semoga saja ada soalnya memang nggak ada yang bawa makanan," ujar dia.

Peringatan tsunami yang menuai kecaman

Peringatan tsunami yang dilansir BMKG dan BNPB, sudah menuai kecaman. BMKG dan BNPB mengeluarkan peringatan waspada tsunami kiriman dari Cile untuk 115 daerah di 19 provinsi di Indonesia.

Menurut kedua instansi, tinggi potensi tsunami berkisar antara nol sampai 0,5 meter. Waktu kedatangan tsunami diperkirakan Kamis antara pukul 05.11 WIB, hingga pukul 19.44 WIB. Menurut para ahli tsunami, peringatan ini berlebihan dan justru bisa membuat masyarakat panik. 

Tsunami kecil memang berpotensi melanda sekitar Papua akibat gempa di Cile ini, tetapi kecil kemungkinannya untuk terjadi di daerah-daerah lain yang tak bersinggungan dengan Samudra Pasifik. Ahli tsunami dari Amalgamated Solution and Research (ASR) Gegar Prasetya mengatakan, peringatan waspada ini terlalu berlebihan dan malah bikin panik masyarakat.

"Saya banyak ditelepon teman-teman BPBD di daerah yang kebingungan soal peringatan ini. Harusnya diperjelas mana daerahnya yang patut waspada, jangan semua malah dinyatakan Waspada," kata Gegar. Dia mengatakan, kecil kemungkinan tsunami kiriman dari Cile ini akan memberikan efek merusak untuk pantai-pantai di Indonesia.

"Skala gempanya tidak terlalu besar, dan arah energinya tidak ke Indonesia. Yang paling berpotensi terdampak (adalah) Papua, itu pun kemungkinan hanya paling tinggi setengah meter dan sifatnya osilasi lokal, atau gelombang berdiri, bukan gelombang horizontal yang merusak," papar Gegar.

Menurut Gegar, yang lebih penting dari kejadian gempa dan tsunami Cile ini adalah pelajaran untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap wilayah-wilayah Indonesia, yang berada di depan zona subduksi. "Jika gempa terjadi di dekat daratan seperti di Cile kali ini, dan tsunami datang sekitar setengah jam, apakah kita sudah siap?"

Dan kekhawatiran para ahli itu terbukti, setidaknya di Dusun Pancer, paling kurang dari cerita Hasanah dan Miswati. Trauma gampang memicu kepanikan. Waspada perlu, tidak berlebihan juga tak salah, apalagi bila pernyataan datang dari instansi pemerintah..