Johanna Bezoet de Bie, Kreol Belanda Kaya Yang Mencintai Busana Jawa

By Galih Pranata, Sabtu, 18 September 2021 | 13:00 WIB
Johanna Bezoet de Bie berbusana Jawa, sembari bersantai membaca majalah, berlatar belakang ruang interior rumahnya yang mewah. (G. Roger Knight/Archipel)

Memasuki abad ke-19, kebaya menjadi pakaian sehari-hari bagi semua kelas sosial, baik perempuan Jawa maupun peranakan belanda. "Kebaya bahkan sempat menjadi pakaian wajib para perempuan Belanda yang berdatangan hijrah ke Hindia-Belanda" tulisnya.

"Memang, ketika para pengunjung Amerika Utara datang ke Jawa pada akhir abad kesembilan belas mengaku terkejut dengan keadaan siang hari, dimana para wanita kolonial (Belanda) yang dilihatnya di hotel, mengenakan busana Jawa (pribumi)," lanjut Knight.

Baca Juga: Menelusuri Permulaan dan Pergeseran Makna dari Istilah Jongos

Batik Belanda bertema Perang Jawa koleksi Museum Danar Hadi, Surakarta. Perang ini pecah pada Rabu, 20 Juli 1825. Awal perang panjang dan melelahkan ini ditandai penyerbuan dan pembakaran kediaman Dipanagara di Tegalrejo oleh pasukan gabungan Belanda-Keraton. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tentunya karena lingkungan wanita Belanda, serta faktor saudara-saudaranya juga yang merupakan kreol, mendorong Bezoet de Bie menjadi terbiasa mengenakan busana Jawa. Bahkan, sekalipun saat suaminya pensiun dari pekerjaannya dan pindah ke Belanda, ia tetap menginginkan untuk pulang ke Hindia-Belanda.

Sepuluh tahun pasca kembalinya, Alexander MacNeill wafat pada 1937. Ia mengarungi kehidupan bersama anak-anaknya tanpa sosok suami di Semarang, sembari mengembangkan usaha stoberi yang ia jual ke hotel-hotel dan resor.

Baca Juga: Jejak Sejarah Rabies, Gigitan Anjing Gila Mengancam Hindia-Belanda