Johanna Bezoet de Bie, Kreol Belanda Kaya Yang Mencintai Busana Jawa

By Galih Pranata, Sabtu, 18 September 2021 | 13:00 WIB
Johanna Bezoet de Bie berbusana Jawa, sembari bersantai membaca majalah, berlatar belakang ruang interior rumahnya yang mewah. (G. Roger Knight/Archipel)

Nationalgeographic.co.id—Johanna Bezoet de Bie adalah menir kaya yang hidup di Probolinggo, di tengah pemerintahan Hindia-Belanda berkuasa. Ia merupakan kreol (orang asing yang lahir dan besar di daerah koloni) Belanda yang memiliki perusahaan di Hindia-Belanda bersama suaminya yang sukses, Alexander MacNeill.

Sebagai kreol, ia lahir dan tumbuh dari keluarga asli Belanda di Jawa (diperkirakan Surabaya). Hal tersebut tak menutup kemungkinan kalau ia menjadi bagian dari Jawa, sebagaimana kreol Belanda kebanyakan.

Meski menjadi sepasang keluarga yang terpandang dan memiliki status sosial yang tinggi, MacNeill dan Bezoet de Bie tak menutup diri. Mereka juga bersosial luas dengan pribumi setempat. Antara MacNeill dan Bezoet de Bie, masing-masing dari mereka dijuluki toean besar dan njonja besar oleh masyarakat setempat.

Sebagai keluarga kaya raya, mereka mempekerjakan banyak pribumi di rumahnya, mulai dari baboe (pengasuh anak), djongos (pelayan rumah tangga), hingga kusir kereta kuda. Kehadirannya di pinggiran Probolinggo menjadi disegani bagi tetangganya yang kebanyakan pribumi.

"Tumbuh berkembang di Jawa membuat Bezoet de Bie mulai mencintai segala macam tentang Jawa" tulis G. Roger Knight. Knight menceritakan kisah Bezoet de Bie dalam tulisannya yang dimuat dalam Archipel, berjudul An ‘Indies’ Couple: Colonial Communities and Issues Surrounding Identity in the Dutch East Indies, ca. 1890-1930s, publikasi tahun 2020.

Johanna Bezoet de Bie sebagai wanita Eropa yang juga menyukai dunia fesyen, sebaliknya malah memilih mengenakan kebaya dan sarong, busana khas Jawa. "Baginya, mengenakan busana Jawa, memang akan tampak eksotis" tulisnya. Disamping itu, bahannya yang halus (dari sutera) membuatnya nyaman dikenakan.

Baca Juga: Inilah Kisah Keluarga 'Crazy Rich Hindia-Belanda' Periode 1890-1937

Bezoet de Bie bersama teman-temannya, memakai kebaya dan sarong, tengah memandikan anak-anaknya, sekitar awal abad ke-20. (G. Roger Knight/Archipel)

Ia terlihat beberapa kali mengenakan busana Jawa dalam dokumentasi Knight. "Ia sering mengenakan kebaya renda lengan panjang yang dikenakan di atas kain katun batik yang dilipat di sekitar tubuh (bawah) seperti rok" tambahnya.

Tampaknya, tak hanya Bezoet de Bie, wanita berparas Eropa yang sering mengenakan busana Jawa. Ada juga beberapa tokoh wanita Belanda yang lekat dengan busana tersebut. "Ada juga Kloppenburg Versteegh, seorang ahli jamu-jamuan Belanda yang akrab dengan kebaya" tulis Hans Pols.

Ia menyinggung sedikit tentang busana Jawa yang dikenakan Kloppenburg Versteegh dalam tulisannya yang dimuat dalam East Asia Science, Technology and Society: an International Journal berjudul European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation, publikasi tahun 2009.

Baca Juga: Pahit-Manis Kenangan Piala Dunia 1938: Hindia Belanda Disikat Hungaria

Memasuki abad ke-19, kebaya menjadi pakaian sehari-hari bagi semua kelas sosial, baik perempuan Jawa maupun peranakan belanda. "Kebaya bahkan sempat menjadi pakaian wajib para perempuan Belanda yang berdatangan hijrah ke Hindia-Belanda" tulisnya.

"Memang, ketika para pengunjung Amerika Utara datang ke Jawa pada akhir abad kesembilan belas mengaku terkejut dengan keadaan siang hari, dimana para wanita kolonial (Belanda) yang dilihatnya di hotel, mengenakan busana Jawa (pribumi)," lanjut Knight.

Baca Juga: Menelusuri Permulaan dan Pergeseran Makna dari Istilah Jongos

Batik Belanda bertema Perang Jawa koleksi Museum Danar Hadi, Surakarta. Perang ini pecah pada Rabu, 20 Juli 1825. Awal perang panjang dan melelahkan ini ditandai penyerbuan dan pembakaran kediaman Dipanagara di Tegalrejo oleh pasukan gabungan Belanda-Keraton. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Tentunya karena lingkungan wanita Belanda, serta faktor saudara-saudaranya juga yang merupakan kreol, mendorong Bezoet de Bie menjadi terbiasa mengenakan busana Jawa. Bahkan, sekalipun saat suaminya pensiun dari pekerjaannya dan pindah ke Belanda, ia tetap menginginkan untuk pulang ke Hindia-Belanda.

Sepuluh tahun pasca kembalinya, Alexander MacNeill wafat pada 1937. Ia mengarungi kehidupan bersama anak-anaknya tanpa sosok suami di Semarang, sembari mengembangkan usaha stoberi yang ia jual ke hotel-hotel dan resor.

Baca Juga: Jejak Sejarah Rabies, Gigitan Anjing Gila Mengancam Hindia-Belanda