Memahami Anak Korban Kekerasan Seksual

By , Kamis, 17 April 2014 | 17:35 WIB
()

Langkah pemulihan

Mengetahui anak, keponakan atau adik kita mengalami kekerasan, apalagi kekerasan seksual, tentu geram. Hati boleh panas, tapi kepala harus tetap dingin. Pada beberapa kasus, main hakim sendiri pada pelaku justru balik memojokkan korban dan keluarganya.

Langkah pertama, bawalah anak ke unit gawat darurat (UGD), dokter, dan yang terbaik, layanan macam PKT RSCM. Bila ditengarai adanya kekerasan dan kekerasan seksual, dokter dan UGD pun biasanya akan merujuk ke PKT untuk tindak penanggulangan terpadu. Berupa layanan medis baik fisik maupun mental, layanan medikolegal lewat dokumentasi, laboratorium dan visum et repertum, analisis dan konseling psikososial, rujukan ke jaringan pendampingan, tempat penampungan sementara serta konsultasi hukum. 

Dokter akan melakukan pemeriksaan medis. Bila perlu, dokter akan membuatkan visum et repertum untuk keperluan laporan ke polisi.

Dari dokter, anak akan dirujuk ke pekerja sosial dan psikolog untuk penanganan pascatrauma. Berdasarkan pengalaman, yang sudah dibuatkan janji untuk bertemu psikolog pun belum tentu datang karena berbagai alasan.

"Kebanyakan korban dari tingkat sosial ekonomi ke bawah biasanya karena ketiadaan ongkos. Yang dari kalangan mampu, lebih karena kesibukan dan ketakpedulian orangtua. Tapi, orangtua yang peduli—biarpun miskin—tetap akan mengusahakan datang demi kebaikan anaknya," kata Maria.

Konseling bertahap dilakukan psikolog. Pertemuan pertama biasanya berupa upaya untuk berbincang santai dengan anak. Dalam suasana informal dan akrab hingga diharapkan, anak mau terbuka bercerita tentang segala hal yang berkaitan dengan kekerasan yang ia alami.

Kadang, pertemuan pertama tak menghasilkan apa-apa. Anak mungkin risih dan tak mau terbuka pada psikolog dan pekerja sosial yang masih asing. Bila ini terjadi, psikolog biasanya akan memberikan PR pada orangtua, tips bagaimana membujuk anak agar terbuka, setidaknya pada orangtua sendiri.

Jadwal konseling berikutnya, dua minggu kemudian. Dalam selang waktu ini, terhadap anak yang terbuka sejak awal, orangtua diminta memperhatikan anak kalau-kalau ada perubahan perilaku. Anak dibiarkan menjalani hidupnya seperti biasa. Tak perlu tiba-tiba berbalik terlalu melindungi dan membatasi. Lebih peduli dan cukup mengawasi, boleh-boleh saja. Pada anak yang di pertemuan pertama tak terbuka, pada kesempatan ini diharapkan sudah mau bercerita, yang akan menentukan langkah untuk memulihkannya.

Menurut Maria, perlu waktu sekitar enam bulan untuk melihat adakah dampak pascatrauma pada anak atau tidak. Apakah anak terus mengalami perubahan perilaku atau tidak. Sulitnya, tambah dia, banyak korban dan orangtuanya yang tak datang kembali hingga sulit untuk memantau.

Menjaga lewat pendampingan, pendidikan

Pendidikan seks yang sesuai tingkatan usia merupakan satu jalan menjaga anak dari ancaman yang mengintai. (Ilustrasi)

Seperti halnya penyakit, bagaimanapun, mencegah tindak kekerasan, termasuk kekerasan seksual, jauh lebih baik daripada mengobati. Pertama dan terutama, orangtua harus meningkatkan pemahaman tentang tahap perkembangan anak. Ini akan mencegah orangtua untuk melakukan tindakan kekerasan di bawah sadar, walau hanya dengan kata-kata, pada anak.