Mengelola Air dari Rinjani

By , Senin, 21 April 2014 | 12:00 WIB
()

“Embung Aik Bual, sudah ada sejak keturunan kakek dulu,” ujar Zulkarnain. Pada tahun 1960-an embung ini diperluas dan perluasannya berlanjut hingga 70-an dan 80-an. Dinas Pekerjaan Umum membantu proyek perluasan embung itu.

Dulu, lanjutnya lagi, masyarakat sering melakukan doa tolak bala di pinggiran embung. Tapi mestinya, tolak bala juga harus diikuti dengan perlindungan mata air, atau setidaknya menanami hutan yang ada di bagian hulunya.

Pemerintah Desa Aik Bual mengelola hutan seluas 5 hektare di hulu embung. Hutan itu berada di tengah-tengah pemukiman warga.  Sudah ada larangan bagi warga untuk tidak menganggu hutan tersebut, termasuk juga melakukan perburuan satwa yang ada di dalamnya.

Masyarakat percaya, hutan yang mereka kelola tersebut menyediakan sumber air bagi kampungnya. Tidak hanya itu, air yang ditampung di dalam embung kemudian dialirkan ke sawah-sawah masyarakat di bagian hilir.

Zulkarnain, yang juga pembina kelompok Pengelola Mata Air (Permata) Desa Aik Bual menjelaskan hutan berfungsi seperti spon, menyerap air dan mengalirkan air secara perlahan. 

Dalam proses penyerapannya, hutan melepaskan air bersih dan ditampung oleh embung-embung, telaga atau langsung masuk ke sungai.

Kepala Dinas Kehutanan NTB, Andi Pramaria, menyambut baik gagasan pengelolaan air oleh masyarakat tersebut. Menurut dia, pada 2014 akan disusun peraturan daerah pengelolaan DAS.

Hutan di Lombok sudah dibagi menjadi hutan lindung, suaka alam dan hutan wisata, hutan produksi terbatas serta hutan produksi tetap. Total hutan yang dikelola di Lombok seluas 159.167,28 hektare.