Jauh pada abad ke-18, Jürgen Habermas pernah menuangkan buah pikirannya ke dalam buku yang berjudul Jürgen Habermas: Democracy and The Public Sphere, karya Luke Goode, terbitan tahun 2005. Bukunya menjelaskan konsep ruang publik dalam masyarakat berdemokrasi.
Menurutnya, ide-ide gila untuk mencapai Revolusi Perancis, sejatinya lahir dari tempat-tempat komunal, tempat berkumpulnya kaum borjuis Perancis dalam ruang yang tak terbatas waktu dan elemen didalamnya.
Ia menyebut tempat-tempat seperti coffee shop di Perancis, dapat memfasilitasi segala pergumulan politik kaum borjuis dalam menentang absolutisme raja Louis XVI yang tengah berkuasa. "Lewat tempat berkumpulnya Borjuis, secara leluasa mereka berbicara politik, menentang kekuasaan raja, tanpa batasan" tulis Goode.
Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Asal-Usul Pulau Seniman Lukis di Danau Sentani
Lain hal dengan praktik ruang publik yang berkembang di abad ke-18 di Perancis. Di Indonesia sendiri, khususnya Jawa, angkringan menjadi gambaran sederhana tempat komunal terciptanya ruang publik. Ia menawarkan suasana berkumpul yang tak terbatas pada waktu dan tempat. Seluruh elemen dapat menikmatinya, dari kalangan muda hingga tua, orang kecil hingga orang kaya, semua dapat bercampur disana.
Sekar Mangalandum dalam prosiding Lifestyle and Architecture 2011, berjudul Angkringan Jogja: Ruang Kota dan Gaya Hidup Yang Terus Berubah, publikasi 2011, menjelaskan sekelumit hal tentang angkringan. Ia berupaya menjelaskan sifat-sifat yang dimiliki angkringan, khususnya di era modern.
"Di Jogja, muncul para 'pemain baru' yang bermodal besar, menciptakan angkringan gaya baru (angkringan elit). Angkringan elit tersebut berkonsep exclusive café seperti The House of Raminten, yang dimiliki seorang pengusaha batik terkemuka di Jogja" tulis Sekar.
Baca Juga: Mumi Belalang Terawetkan dalam Lukisan Olive Trees Karya Van Gogh