Awalnya Julius Caesar Dianggap Epilepsi, Temuan Terkini Dia Strok

By Mahandis Yoanata Thamrin, Sabtu, 25 September 2021 | 15:00 WIB
Julius Caesar mengubah Roma dari republik menjadi kekaisaran, merebut kekuasaan melalui reformasi politik yang ambisius. Dia terkenal tidak hanya karena keberhasilan militer dan politiknya, tetapi juga karena hubungannya yang panas dengan Cleopatra. (The Leiden Collection)

Nationalgeographic.co.id—Secara umum diterima sebagai fakta sejarah bahwa Julius Caesar menderita epilepsi, penyakit yang pada zaman klasik kadang-kadang dikaitkan dengan kejeniusan yang dianugerahkan Tuhan. Sumber-sumber kuno menggambarkan beberapa episode ketika, kadang-kadang pada saat-saat kritis, salah satu komandan militer paling terkenal dalam sejarah dilumpuhkan oleh penyakitnya yang disebut sebagai morbus comitialis.

Akan tetapi, apakah bukti tersebut benar-benar sesuai dengan diagnosis epilepsi? Dan jika bukan epilepsi yang menimpa Caesar, lalu apa itu?

Ini adalah pertanyaan yang coba dijawab oleh dokter Galassi dan Ashrafian dengan menerapkan pengetahuan medis modern pada gejala dan keadaan yang dijelaskan oleh sejarawan dan komentator kontemporer kehidupan Caesar.

Hasilnya adalah karya detektif patologis-historis yang menarik yang menantang kebijaksanaan yang diterima tentang salah satu pria paling terkenal sepanjang masa. Berkat penemuan ini, apa yang diderita Julius Caesar semakin jelas. Ia mengalami serangan stroke.

Diktator zaman Romawi ini mengalami serangan stroke di Spanyol dan Afrika. Serangan pertama diperkirakan terjadi pada 46 sebelum Masehi di Thapsus, yang kini menjadi Tunisia. Stroke kedua terjadi di Cordoba, Spanyol, saat usianya menginjak 50 tahun.

Suetonius mengklaim bahwa Caesar mendadak tak sadarkan diri dan menyebut kondisi itu sebagai morbis comitialis. Sementara berdasarkan tulisan Plutarch, ia menuliskan bahwa Caesar tak sadarkan diri saat berada di Thapsus dan terpaksa dibawa meninggalkan medan pertempuran untuk beristirahat dan menenangkan diri.

Dua peneliti dari Imperial College London menyarankan bahwa serangkaian stroke ringan, atau "serangan iskemik sementara" lebih masuk akal, terutama ketika menggambarkan gejalanya. Gejala-gejala itu termasuk vertigo dan sakit kepala, serta "pusing dan tidak peka."

Baca Juga: Kisah Julius Caesar Muda yang Ternyata Pernah Diculik oleh Bajak Laut

Gaius Julius Caesar (100 - 44 SM) adalah seorang jenderal dan negarawan Romawi. Selama ini diktator Romawi ini dikira mengalami epilepsi, namun setelah diselidiki ia mengidap stroke. (Public Domain)

Para peneliti menunjukkan perubahan dramatis dalam kondisi mental Caesar seiring berjalannya waktu, terutama depresi yang sering menyertai kerusakan otak akibat stroke.

“Adanya teori bahwa Caesar mengidap epilepsi tampaknya tidak mempunyai bukti yang valid. Jika meneliti lebih dalam, fakta menunjukkan bahwa sebenarnya Caesar didiagnosa mengalami stroke,” ujar Francesco M. Galassi, seorang dokter medis di Imperial yang melakukan analisis dengan Hutan Ashrafian, seorang ahli bedah di kampus Imperial College London. Keduanya merilis buku berdasar penelitian yang berjudul Julius Caesar's Disease, A New Diagnosis.

Menurut Galassi, Suetonius menggunakan istilah morbus comitialis yang merupakan istilah sangat umum dan tidak menyebutkan sebagai epilepsi. “Semua gejala yang dilaporkan dalam kehidupan Caesar cocok dengan dia yang mengalami beberapa stroke ringan,” kata Galassi.

Baca Juga: Sejarah Tahun Kabisat, Sejak Kapan Februari Memiliki 29 Hari?

La mort de Cèsar atau Kematian Julius Caesar adalah lukisan tahun 1806 karya Vincenzo Camuccini yang menggambarkan pembunuhan Julius Caesar. Peristiwa itu terjadi pada Idus Martiae, yakni hari ke-74 dalam kalender Romawi, bertepatan dengan 15 Maret. (Wikimedia Commons)

Para ilmuwan juga memeriksa kematian mendadak ayah Caesar dan kerabat lainnya. Keduanya meninggal saat membungkuk untuk memakai sepatu mereka. Para peneliti menunjukkan,"bahkan jika Caesar berpartisipasi dalam gaya hidup aktif dan mungkin mendapat manfaat dari diet Mediterania, ada kemungkinan tambahan kecenderungan genetik terhadap penyakit kardiovaskular."

Christopher Pelling, profesor bahasa Yunani di Universitas Oxford, mengatakan bahwa sementara penyakit Caesar mungkin dianggap epilepsi, "Saya tidak tahu apakah itu masuk akal secara medis, tetapi ini menarik, dan itu penting," ujarnya kepada Digital Journal. "Penyakit fisik apa pun tidak akan membantu, apakah itu epilepsi dibandingkan sesuatu yang lain."

Studi ini diterbitkan dalam jurnal Neurological Sciences dengan judul: “Has the diagnosis of a stroke been overlooked in the symptoms of Julius Caesar?”

Baca Juga: Penemuan Kalung Budak Romawi 'Pegang Aku Atau Aku Akan Lari!'