Kisah Kekacauan Penerbangan Saat Bencana Tsunami Aceh

By , Rabu, 28 Mei 2014 | 06:55 WIB

Pada 26 Desember 2004 pilot Mandala Airlines, First Officer J Andy Arisasmita, baru saja mendaratkan pesawatnya di Bandara Polonia, Medan setelah terbang dari Padang, Sumatra Barat. Ketika berada di Bandara Polonia, Andy dan awak Mandala lainnya sempat mendengar berita adanya gempa bumi di Aceh. Tapi ia belum menaruh perhatian serius karena gempa di Aceh masih mereka anggap sebagai gempa biasa seperti yang pernah terjadi di berbagai daerah lainnya selama ini.

Sewaktu menginap di Semarang dan bangun pagi-pagi untuk sarapan, Andy dan para awak  Mandala terkejut karena berita tentang gempa bumi dan tsunami di Aceh ternyata demikian dahsyat dan memakan banyak korban.

Bencana tsunami Aceh yang kemudian menjadi perhatian internasional itu langsung direspon oleh sejumlah negara dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan lewat udara. Tapi keterlibatan sejumlah negara yang antusias mengirimkan bantuan lewat udara ternyata memunculkan masalah pada lalu lintas udara (air traffic) yang dalam waktu singkat berubah menjadi sangat padat. Jika per harinya di atas Sumatra, khususnya di atas Medan, hanya berlangsung sekitar 100 pergerakkan pesawat, di saat bencana tsunami Aceh ternyata berlangsung 1.000 pergerakkan penerbangan tiap harinya.

Pengaruh padatnya penerbangan di atas Medan sampai juga pada Andy yang pada tanggal 30 Desember melakukan penerbangan dari Jakarta – Padang – Medan – Batam dan kemudian RON di Surabaya. Esok harinya Andy kembali terbang dengan rute Surabaya – Batam – Medan – Padang – Medan - Jakarta tapi dengan jadwal penerbangan yang sangat kacau.

Penyebab kekacauan jadwal penerbangan yang menyebabkan efek domino itu memang dari Bandara Polonia. Pasalnya dengan banyaknya penerbangan pada hari itu, ATC Medan tidak bisa lagi menentukan ketepatan jadwal baik pendaratan maupun penerbangan secara on time. Pihak ATC Medan  bahkan hanya memberlakukan slot time terbatas dengan syarat jika pesawat yang terbang dari suatu bandara tidak dapat memenuhi Estimate Time Departure (ETD) atau perkiraan waktu berangkat yang telah ditentukan maka pesawat bersangkutan tidak diizinkan terbang dan slot pendaratan akan diisi oleh pesawat lainnya.

Molornya jadwal penerbangan dialami sendiri oleh Andy. Sebagai contoh sewaktu hari pertama Andy terbang dari Jakarta pada pukul 10.00 WIB, penerbangan rutin yang biasanya tidak sampai malam hari itu ternyata harus berakhir di Bandara Juanda Surabaya pada pukul 23.30 WIB. Mundurnya jadwal penerbangan hingga nyaris tengah malam itu diakibatkan oleh lamanya slot time keberangkatan dari Polonia (Medan) dan Tabing (Padang). Yang unik, para penumpang yang harus menunggu jadwal penerbangan ternyata bersikap santai.

Di Padang, pihak ATC sampai memanggil-manggil penumpang yang sedang boarding dan kebanyakan malah sedang jalan-jalan. Setelah dua jam para penumpang baru lengkap atau tepat dengan slot time penerbangan yang telah berakhir. Akibat slot time penerbangan yang molor itu para awak pesawat pun didera kelelahan.

Pada hari kedua, jadwal mundurnya penerbangan justru makin parah. Ketika kembali  mendarat di Bandara Tabing, Andy tertahan hingga lima jam dan baru tiba di Bandara Cengkareng pada pukul 12.30 WIB. Tak mau mengalami lagi molornya jam penerbnagan yang secara fisik dan mental membuat capai, Andy berinisiatif tak akan diam saja.

Sewaktu  mendarat lagi di Polonia, ia menawarkan diri jika ada humanitarian flight ke Aceh akan siap membantu. Niat Andy itu didasari oleh fakta bahwa secara kebetulan sudah selama dua hari  Mandala Airlines mengadakan penerbangan kemanusiaan ke Aceh via Medan. Salah satu misi penerbangannya adalah mengangkur anak-anak yang jadi korban gempa ke Medan.

 

Macet di udara

Penugasan misi kemanusiaan yang ditunggu-tunggu oleh Andy tiba. 1 Januari 2005 tepat pukul 12.00 WIB, Andy mendapat telepon dari bagian Flight Movement Control yang memberi perintah agar dia terbang ke Aceh esok harinya (2 Januari) tepat pukul 08.00 WIB. Perintah yang sedang ditunggu-tunggu oleh Andy itu langsung diterima dan persiapan terbang pun segera dilakukan.

Untuk mengantisipasi bahwa misi penerbangan ke Aceh bisa makan waktu lama dan ada kemungkinan menginap, Andy pun menyiapkan perangkat yang sekiranya akan diperlukan seperti pakaian secukupnya, masker untuk kru dan mekanik, dan lainnya. Dari Tabing, Andy yang terbang bersama Captain Hendi Rochman akan menuju Polonia terlebih dahulu untuk mengambil penumpang sukarelawan dan kemudian baru terbang menuju Aceh.