Di Palembang, Sulawesi Selatan, kekhawatiran Sungai Musi yang tercemar diusung para pegiat lingkungan dalam memperingati HLH tahun ini. Sebuah spanduk besar terbentang di Sungai Musi, tak jauh dari Jembatan Ampera. Spanduk bertuliskan "STOP!!! CEMARI SUNGAI MUSI" —pesan cukup jelas itu disampaikan para pengiat lingkungan hidup dari Walhi Sumsel, Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI), Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel dalam memeringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2014.
Para aktivis membagikan selebaran yang menuntut pemerintah melakukan empat langkah penyelamatan Sungai Musi. Pertama, selamatkan Sungai Musi dan ekosistem dengan menghentikan semua aktivitas industri di sepanjang aliran sungai. Hentikan segera pembuangan limbah industri ke sungai.
Kedua, menghentikan alih fungsi lahan gambut untuk pembangunan pelabuhan pertambangan. Ketiga, berikan sanksi bagi pemerintah dan perusahaan yang merusak lingkungan hidup di Sumsel tanpa terkecuali. Keempat, segera masukkan pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulum sekolah dari SD hingga SMA.
"Sungai Musi kian memprihatinkan. Apalagi air sudah tercemar merkuri," kata Norman Cegame, koordinator aksi. Katanya, kini Sungai Musi kehilangan sekitar 221 anak sungai. Bahkan sejumlah ikan yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti baung, juaro, lais, dan patin, kini diduga mengandung merkuri.
Peringatan Hari Lingkungan Hidup di Pontianak juga mengingatkan berbagai permasalahan lingkungan dampak industri ekstraktif. Di Pontianak, Kalimantan Barat, Koalisi Masyarakat Sipil menggelar aksi damai di Tugu Digulis Universitas Tanjungpura Pontianak, masih pada hari sama. Mereka menuntut penyelamatan ekosistem Kalimantan demi keberlanjutan kehidupan rakyat.
"Hari ini kita kembali turun ke jalan untuk satu tujuan sama, selamatkan ekosistem Kalimantan demi keberlanjutan hidup manusia," kata Hendrikus Adam, dari Walhi Kalbar, juga koordinator aksi.
Mereka juga mengusung sejumlah pamflet bertuliskan berbagai seruan. Beragam seruan itu akumulasi dari sejumlah persoalan di Kalbar belakangan ini.
Fakta menunjukkan, krisis lingkungan hidup bersumber dari persoalan struktural. Industri ekstraktif seperti perkebunan, pertambangan, hutan tanaman skala luas, memicu kerusakan ruang hidup masyarakat dan habitat satwa. "Krisis air dan krisis lahan pangan, konflik sumber daya agraria, bencana kabut asap terus berulang, pengabaian hak-hak komunitas atas hadirnya korporasi melahirkan persoalan ketidakadilan dan kemanusiaan."
Jakarta juga tak ketinggalan dalam memperingati Hari Lingkungan ini. Berbagai elemen masyarakat juga menyuarakan penyelamatan lingkungan, terlebih menjelang pemilihan pemimpin baru.
Walhi Nasional menggelar aksi menyuarakan lingkungan negeri, yang tengah kritis. Aktivitas perusahaan merusak hutan dan pertambangan di pulau-pulau kecil makin marak. Reklamasi pantai juga menggila seperti di Bali, Manado, Palu dan banyak lagi. Mereka juga aksi ke KPU, sekaligus merespon debat capres agar mengedepankan topik lingkungan hidup demi pemulihan negeri.
Greenpeace kembali tampil dengan capres dan cawapres lingkungan, Raung dan Umba, yang mendatangi KPK buat mendaftarkan harta kekayaan alam Indonesia. Ia sebagai simbol seruan dan mengajak pemerintahan mendatang melindungi, menjaga, dan menyelamatkan kekayaan alam Indonesia.