Rempah Timor: Dari Kronik Cina Sampai Kedatangan Penjelajahan Eropa

By Agni Malagina, Senin, 16 Oktober 2017 | 10:00 WIB
Mia Annisa (model) mengenakan kain tenun Timor wilayah Kabupaten Belu dan perhiasan dari koin kuna. Koin-koin kuna Spanyol dan Belanda banyak digunakan sebagai aksesoris di kalangan keluarga pemangku adat di Timor. (Feri Latief)

Berabad-abad yang lalu kapal-kapal dari seluruh dunia mampir dan mengunjungi Timor karena pulau ini terkenal sebagai sumber kayu cendana, malam (lilin), dan kulit sapi. Kisah aktifitas perdagangan cendana di Timor adalah sebuah naskah catatan perjalanan yang ditulis oleh Wang Da Yuan yang berjudul Daoyi Chi Lue pada 1350 yang menyebutkan bahwa di wilayah Timor tidak tumbuh pohon lainnya selain cendana serta bahwa cendana diperdagangkan dan ditukar dengan perak, besi, porselen, kain dan manik-manik.

Pengawas perdagangan Cina di Hong Kong, Chau Ju Kua menulis pada 1225 bahwa pulau Timor sudah berhubungan dengan dengan pulau Jawa karena perdagangan kayu cendana yang dianggap sebagai kayu cendana terbaik.  Pilliot Lamster menulis bahwa perdagangan kayu cendana oleh orang Cina sudah dimulai pada awal abad masehi. O.W. Walters menambahkan bahwa Cina melakukan kontak dengan Timor sudah dimulai pada awal abad masehi.

Baca Juga: Kisah Tenun dan Komunitas Lakoat Kujawas dari Desa Taiftob NTT

John Lie, seorang bangsawan keturunan Cina Timor, menunjukkan alat tiup dari tanduk kerbau warisan leluhurnya. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)
Selain pedagang-pedagang Cina juga datang pedagang India dan membarternya dengan kuda-kuda yang kemudian dibiakkan di pulau Sumba. Para pedagang ini melakukan perjalanan dagang paling dua kali dalam satu tahun, membawa cendana dari Timor untuk diperdagangkan di Malaka. Orang-orang Cina ini disebut dengan Sina Mutin Melaka (orang Cina berkulit putih dari Malaka) oleh penduduk lokal. Pintu masuk para pedagang Cina ke tanah Timor, salah satu yang terkenal adalah pelabuhan Namon Sukaer (sekarang bernama Atapupu). Lalu lintas perdagangan kayu cendana ini kemudian surut pada akhir abad ke-18. Belanda mencoba menguasai perdagangan ini, namun mereka mengalami kerugian besar pada 1752. Namun, orang Cina masih terus bertahan dalam rute perdagangan ini sampai akhir abad ke-19. Tercatat pelbagai sumber naskah Portugis pun menyebut Timor sebagai pasar Cendana yang sangat ramai. Begitu pula seperti Nagarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada 1365 telah menyebut Timor di dalam naskahnya.

Litografi Santalum album karya Franz Eugen Köhler, Köhler's Medizinal-Pflanzen pada 1897. (Wikimedia commons)
 
 

Seiring waktu yang terus bergulir meninggalkan untaian kisah masa lalu, julukan Nusa Cendana bagi tanah Timor semakin pudar. Ribuan batang pohon cendana yang dulu diagungkan dalam kronik klasik Cina tak lagi tampak. Usaha budidaya cendana putih pun tidak berjalan mulus diterpa perubahan iklim yang semakin memanas. Jutaan bibit cendana yang ditanam di pelosok tanah Timor tak ayal dihadang kematian yang menyergap setiap pucuk daun pohon cendana yang mulai mekar. “Cendana lebih mudah tumbuh liar dan tidak dibudidayakan. Usaha pemerintah daerah membudidayakan cendana sebagai ikon pulau Timor telah berkesinambungan. Namun penanaman bibit perlu perawatan. Ini yang sulit, perlu komitmen bersama antara pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat,” ujar Leo Nahak, mantan Kepala Museum NTT yang kini menjabat sebagai Kepala Bidang Arkeologi Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sentra penanaman cendana telah tersebar di sejumlah lokasi seperti Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Kupang. Jika Anda sedang berada di Kupang, tengoklah sekejap pelbagai suvenir yang terbuat dari kayu cendana seperti serbuk aromaterapi, kipas, batangan kayu, serpihan, rosario, kalung, gelang dan beragam kerajinan tangan lainnya.

Cendana (Thinkstock)