Nationalgeographic.co.id—Kehadiran Bulan, Matahari, dan bintang-bintang di alam semesta sejak lama diperkirakan memberikan dampak pada kehidupan kita di Bumi. Sayangnya, pengetahuan itu menjadi ramalan astrologi yang bersifat semu, atau pseudo-sains, karena tidak ada bukti konkrit secara ilmiahnya.
Misal, astrologi menjabarkan zodiak bintang, posisi Matahari, Bulan, hingga Venus untuk memprediksi jodoh dan keberuntungan hari ini. Penafsiran seperti ini tidak ada penjelasan terkait hubungannya, bagaimana benda antariksa bisa menentukan masa depan kita.
Akan tetapi, lewat pendekatan sains, para ilmuwan bisa memahami dampak keberadaan Bulan dan Matahari terhadap kehidupan di Bumi. Keberadaan benda angkasa ini ternyata bisa menyebabkan munculnya kehidupan yang kita kenal saat ini.
Jika Anda ingin mengamati bagaimana prosesnya, mari kita mulai pengamatan pada tepi pantai yang dalam sehari mengalami pasang surut.
Dalam penelitian di artikel jurnal Nature Geoscience berjudul Possible link between Earth’s rotation rate and oxygenation, para peneliti mengungkap pasang-surut menyebabkan gesekan antara air dan dasar laut berbatu. Gesekan itu menguras energi rotasi yang dapat memperlambat putarannya dan memperpanjang hari. Proses memperlambat durasi hari itu berlangsung sangat lama, bisa ratusan juta tahun, dan sulit dilacak dalam analisis geologi mendalam.
Sebenarnya pemahaman model perpanjangan durasi hari dalam proses waktu yang lama, sudah digunakan sejak studi 1980-an. 2,5 miliar tahun lalu diperkirakan satu hari sama dengan 21 jam, dan tetap relatif tidak berubah selama beberapa jutaan tahun berikutnya.
Baca Juga: Epik, Ilmuwan Jelaskan Bagaimana dan Kapan Matahari Akan Mati
Sementara Bulan mempengaruhi durasi hari lewat pasang surut, Matahari berperan memanaskan satu sisi Bumi yang mengalami perubahan hari yang mulai memanjang. Akibatnya, lautan dan atmosfer mengembang, yang membuat planet kita sedikit ke depan di jalur rotasinya.
Fenomena dua kekuatan berlawanan itu saling mencoba menggagalkan pengaruh, tetapi malah mencapai resonansi. Ketika resonansi ini mencapai frekuensi 'ajaib' kecepatan putaran rotasi menjadi lebih lama.
Judith Klatt adalah salah satu peneliti di makalah tersebut dari Microsensor Group, Max Planck Institute for Marine Microbiology, Jerman. Dia telah mempelajari mikroba cyanobacteria selama bertahun-tahun. Penelitian ini berasal dari ide dia mencoba memahami panjang hari di Bumi, yang berdampak penting bagi munculnya kehidupan yang kita kenali.
"Itu adalah sumber inspirasi yang sangat besar, pergi ke sana dan melihat dunia ini, seperti, seluruh Bumi mungkin terlihat seperti," kata Klatt kepada National Geographic. "Ini benar-benar membingungkan."
Cyanobacteria masih terus berkembang di perairan, Klatt dan timnya mencari tahu dari sampel yang berada di Danau Huron, Michigan, Amerika Serikat, yang disebut Middle Island Sinkhole.
Di kedalaman 22,86 meter, kondisi airnya memiliki konsentrasi belerang yang tinggi dan tidak banyak oksigen. Kondisi ini bisa disamakan dengan lautan purba miliaran tahun yang lalu oleh para ilmuwan, yang akhirnya menjadi gambaran Klatt dan tim tentang ekosistem purba.
Baca Juga: Moonquake, Apakah Bulan Juga Mengalami Gempa Seperti di Bumi?
Para mikroba ini menghasilkan oksigen yang banyak akibat fotosintesis, tetapi mereka juga mengonsumsinya dengan jumlah yang tidak sedikit. Yang membuat oksigen bisa memperkaya lapisan atmosfer kita adalah proses difusi, di mana oksigen berpindah dari konsentrasi tinggi ke yang lebih rendah. Ibaratnya seperti sebotol soda yang dikocok, yang membuat karbon dioksida keluar saat dibuka.
Ketika hari berdurasi pendek, cyanobacteria akan hidup dan mati, sedangkan hari berdurasi panjang dapat membantu mereka berfotosintesis dalam waktu yang lebih lama, terang Klatt.
Hal itu terungkap lewat temuannya bersama tim di laboratorium, bahwa siang yang lama bisa membuat bakter ini menghasilkan banyak oksigen ke atmosfer. Laboratoriumnya menguji waktu menyesuaikan yang pernah terjadi ketika Bumi berdurasi cepat dan lambat pada 3,5 dan 2,25 milar tahun yang lalu. Mereka juga mencoba dengan waktu 21 jam, sebagaimana yang terjadi 550 juta tahun lalu, ketika Bumi melambat kembali.
"Efek panjang hari mungkin menjadi kunci tama bagaimana memecahkan teka-teki oksigenasi Bumi yang terus-menerus ini," kata Arjun Chennu, salah satu penulis studi dari Microsensor Group, Max Planck Institute for Marine Microbiology, Jerman.
"Mungkin juga berguna untuk memikirkan bagaimana proses geokimia global lainnya, mungkin terpengaruh oleh perubahan panjang hari," terangnya. Ia mencontohkan bagaimana perubahan panjang hari dan kadar oksigen, dapat memengaruhi siklus dan pelapukan karbon global ketika Bumi memiliki benua pertamanya, Pangea.
Devon Cole, ahli geobiologi Georgia Institute of Technology, menanggapi makalah ini sebagai potensi pemahaman evolusi di planet lain. Banyak para ilmuwan mempertimbangkan tingkat rotasi planet ekstrasurya sebagai faktor penopang kehidupan, tetapi makalah terbaru ini dapat menjelaskan bagaimana panjangnya hari bisa mempengaruhi biosfer dan atmosfer di planet lain.
Baca Juga: Studi Terbaru: Bulan Memberi Pengaruh Kuat pada Cara Kita Tidur
Memang betul ada banyak planet yang mengorbit bintangnya terkunci oleh gravitasi pasang surut, tetapi kebanyakan memiliki sisi yang terus mengalami siang, dan sisi lain malam abadi.
"BIsakah Anda, bahkan memiliki biosfer, yang mampu merekayasa ulang atmosfer, yang benar-benar dapat kita deteksi di planet seperti itu?" tanya Cole. "Mungkin satu-satu tempat yang benar-benar layak huni [di planet itu] berada pada zona 'matahari terbenam' permanen di sisinya."
Dia menambahkan, terkait oksigen dan kebangkitan kehidupan akibat panjang hari suatu planet adalah temuan yang "belum tentu merupakan hal pasti dapat membuat orang masuk kesimpulan."
Baca Juga: Asal Mula Astrologi, Kenapa Ramalannya Terasa Relevan untuk Kita?