Gerakan Perlawanan Haji Misbach: Islam Merah dan Komunis Hijau

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 29 September 2021 | 19:06 WIB
Haji Misbach ketika menjabat sebagai ketua buletin Medan Moeslimin. Lewat surat kabar ini, dia menyebarkan gagasannya tentang Islam dan komunisme adalah paham yang seiringan. (Syarikat Islam)

Nationalgeographic.co.id—Namanya adalah Achmad Darmodiprono saat lahir pada 1876. Kemudian, namanya diubah berkali-kali oleh orangtuanya. Latar belakang pendidikannya adalah pesantren. Namun, sempat mengenyam pendidikan formal di Sekolah Batangan Solo, dan Sekolah Ongko Loro—sebuah sekolah khusus bumiputra.

Ketika dia berhaji, seperti orang Jawa pada umumnya, ia mengganti namanya untuk terakhir kali sebagai Haji Mohammad Misbach. Nama itulah yang kemudian diingat pada tokoh yang menyandingkan Islam dan komunisme, agar bisa maju bersama melawan penindasan kolonial.

Meski demikian, karena pandangannya yang tak mau mempertentangkan antara Islam dan komunisme, namanya tidak begitu benderang pada kalangan agamis. Namanya justru benderang pada gerakan kiri hingga saat ini, meski dirinya menganggap dirinya bagian dari gerakan Islam.

"Haji Misbach menganggap diri pada bergerak dengan embel-embel Islam, namun pergerakannya sama sekali tidak 'revolusioner' hanya anteng seperti SI Putih dan Muhammadiyah, lebih baik meniru komunis yang revolusioner tanpa embel-embel agama," tulis Kuswono, Ketut Adi Saputra, dan Ragil Agustono dari Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro, di Jurnal Pendidikan Sejarah.

"Ketika disiplin partai SI diterapkan, Misbach memiliki dua pilihan, bergabung dengan SI atau keluar dan membesarkan PKI," lanjutnya. Misbach pun akhirnya mengikuti kongres PKI pada 4 Maret 1923 di Bandung, dan memaparkan ayat-ayat Alquran yang memaparkan kesamaan Islam dan komunisme untuk melawan kaum kapitalisme.

Kondisi ini membuat pahamnya ditentang oleh SI dan Muhammadiyah, dan menganggap Haji Misbach lebih memilih menjadi kaum komunis daripada memperjuangkan kemurnian Islam. Dukungannya pada gerakan komunisme pun membuatnya dikenal sebagai Haji Merah.

Baca Juga: Nasib Keluarga Dipa Nusantara Aidit Sesudah Malam 30 September

Surat Kabar 'Medan Moeslimin' yang menampilkan pendirinya, H.M. Misbach. Inilah surat kabar bulanan berbahasa Jawa dan Melayu yang dikeluarkan oleh H.M. Misbach & M. Sastrositojo. Koran ini terbit perdana pada 15 Januari 1915 di Yogyakarta. (Koleksi Harri Gieb @harrigieb)

Beky Frisca Andriani dari Prodi Pendidikan Sejarah Universitas PGRI Yogyakarta, dalam Histrocal Studies Journal memaparkan, keinginan Misbach menggabungkan ajaran Islam dan komunisme terinspirasi dari ilmu keagamaan dan bacaan karangan Karl Marx.

"Dia berbeda dengan kebanyakan pengikut kelompok islam garis 'kanan' (fundamentalis) yang menuduh bahwa komunisme itu ateis dan melakukan sikap radikalisme dengan jalan pertumpahan darah," tulisnya.

Dia mendapati komunisme dan Islam sejalan sebagai bentuk perlawanan masyarakat kecil terhadap sistem kapitalisme yang menyebabkan penindasan dan pemerasan. Gagasan Islam itu dituaikan lewat bukunya, Islam dan Atoeranja dengan mengutip surah Hud ayat 84, tentang betapa bencinya Allah kepada orang yang berlaku tidak adil.

Dia mendapati komunisme dan Islam sejalan sebagai bentuk perlawanan masyarakat kecil terhadap sistem kapitalisme yang menyebabkan penindasan dan pemerasan. Gagasan Islam itu dituaikan lewat bukunya, Islam dan Atoerannja dengan mengutip betapa bencinya Allah kepada orang yang berlaku tidak adil. Lewat cara ini dia menjadikan gerakannya bagai Islam merah, juga menjadi komunis yang hijau.

Baca Juga: Kisah Hidup Soesilo Toer: Doktor Pemulung dan Tuduhan Komunis

Lewat cara inilah dia berperan sebagai penyebar propaganda untuk melakukan perlawanan. Haji Misbach akan bergerak apa saja sebagai Islam dan komunis sejati, setelah sebelumnya didepak HOS Cokroaminoto dari SI. Baginya, komunis yang ingin melenyapkan Islam bukanlah komunis sejati, dan begitu juga sebaliknya.

Sebenarnya, pergerakan komunisme Islam yang dilakukan Haji Misbach sudah dimulai sejak 1914 ketika mengikuti Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan Marco Kartodikromo. Ia pun mulai menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, dan mendirikan perkumpulan mubalig reformasi STAV (Sidiq, Tabligh, Amanah, dan Vathonah).

Dia bahkan menjadi wakil ketua Perkoempoelan Kaoem Boeroeh dan Tani (PKBT) di Surakarta. Selanjutnya bersama para pimpinan Centraal Sarekat Islam (CSI) pada 15 Februari 1919 seperti Marco dan Semaun, mengaktifkan kembali SI Surakarta, dan menjadi wakil ketuanya.

Baca Juga: Mengenang G30S, Bagaimana Reaksi Media Asing Saat Peristiwa Ini Terjadi?

Barak di kamp interniran di Tanahtinggi, Boven Digoel, sekitar 1928. (KITLV)

Kegiatannya pun membuatnya pernah ditangkap pada 7 Mei 1919 oleh kepolisian, dengan tuduhan provokator dan penebar kebencian terhadap pemerintah. Tidak kapok, setelah bebas, setahun berikutnya ia menjadi propagandis di SI Kebumen, dan SI Desa Ampih Kebumen, untuk mengadakan pemogokan.

Lagi-lagi, dia diperiksa kepolisian pada 8-11 September 1920, dan dipenjara selama dua tahun tiga bulan. Setelah bebas ia kembali bergaul dengan kalangan Muhammadiyah seperti Fachruddin yang tidak berlangsung lama, sebab Maret 1923 bergabung dengan PKI dan SI Merah.

Selain itu, alasannya memilih bergerak bersama kalangan komunis karena memandang SI dan Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam, tidak cukup berani melawan kolonialisme Belanda.

"Hal ini membuat Haji Misbach memiliki keinginan untuk bergabung dengan komunisme dari segi positifi dalam memperjuangkan 'kebebasan' atau teori 'tanpa kelas;," terang Kuswono dan tim.

PKI dan SI Merah yang baru terbentuk itu membuat pemerintah kolonial tidak senang. Aktivitas Haji Misbach sebagai propagandis, membuatnya ditangkap pada 20 Oktober 1923 bersama rekannya, di Semarang. Dia bersama teman-temannya, dibuang ke Manokwari.

Baca Juga: Awal Mula Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927

Penulis Mas Marco Kartodikromo dan istri di kamp interniran di Tanamerah, Boven Digoel. pergerakan komunisme Islam yang dilakukan Haji Misbach sudah dimulai sejak 1914 ketika mengikuti Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan Marco. (KITLV)

"Pembuangan Haji Misbach ini tidak lebih dikarenakan bentuk dari kediktatoran penguasa kolonial," terang Beky. Di Manokwari, ia mendirikan Sarekat Ra'jat Manokwari yang berjumlah 20 orang meski dibayang-bayangi aktivitas kepolisian.

"Di antara tahun 1924-1925 selama berada di pembuangan, Haji Misbach tetap aktif menulis artikel di Medan Moeslimin, yang khususnya membahas tentang hubungan antara komunisme dengan Islam," lanjutnya.

Dia terserang TBC yang mewabah di Manokwari. Dia sempat memohon pemerintah kolonial agar dibawa ke Belanda untuk mendapatkan perawatan. Ketika izin diberikan, ia mengurungkan niatnya ketika istrinya meninggal akibat penyakit yang sama pada September 1925.

Dia memilih menetap dan melanjutkan perjuangan Manokwari, hingga akhir hayatnya pada 24 Mei 1926. TBC itu pula yang menggerogoti tubuhnya yang tengah berjuang melawan kolonialisme.

Baca Juga: Bagaimana Komunisme dan Sosialisme Menjadi Hal yang Berbeda?