Lucia Caritas terkejut ketika Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu mampir di bilik siaran radionya yang sempit. Di bilik lusuh berdinding kaca dan kayu itu, Mari duduk di bangku dan menjawab pertanyaan kritis yang diajukan Lucia.
Jawaban Mari itu langsung mengudara sekaligus menyapa para pedagang Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah, Senin (23/6). ”Kabarnya motif batik kita ada lagi, lho, Bu yang diklaim negara tetangga?” tanya Lucia di balik sukacitanya siaran bersama menteri.
Mari segera menepis soal isu tersebut. Jika itu terjadi, pemerintah siap mempertahankan kekayaan bangsa ini.
Penyiar dari Gapura Klewer, sebuah media informasi dan promosi bisnis bagi pedagang Pasar Klewer, itu pun menegaskan, para perajin dan mereka yang bergerak di bidang industri batik Nusantara berharap bisa memegang janji pemerintah.
Di luar bilik, pengurus pasar, pedagang, dan aparat Pemerintah Kota Solo mungkin merasa lega mendengar kata-kata menteri. Maklum, kota ini amat menggantungkan hidupnya pada industri kreatif, khususnya batik, karena minimnya sumber daya alam.
Indonesia memiliki banyak warisan budaya dalam bentuk fisik dan juga nonfisik. Batik hanyalah salah satu dari warisan nonfisik. Bayangkan jika warisan budaya itu dikelola dengan baik dan terus berinovasi untuk memberikan nilai tambah pada yang telah ada tersebut. ”Di tiap kota atau daerah punya kekuatan yang menjadi ciri khas dan ini bisa jadi potensi besar untuk mengembangkan kota kreatif,” kata Mari.
Solo menjadi salah satu dari sedikit kota di Indonesia yang menyambut hangat dan sigap berbenah saat ekonomi kreatif, industri kreatif, dan kota kreatif mulai dikembangkan di negeri ini sekitar 7-10 tahun silam.
Menjadi kota kreatif dunia tidak sekadar harus memiliki ikon produk ekonomi kreatif, tetapi ini terkait juga dengan bagaimana membangun sebuah kota yang humanistis dan mampu mewadahi kegiatan kreativitas warganya.
Mari melihat karya fesyen batik yang ditampilkan pada pergelaran Solo Batik Carnival (SBC), berkunjung pula ke Pasar Klewer, Batik Keris, Sanggar Seni Semarak Candrakirana, dan berdialog dengan sedikitnya 10 pengelola sanggar seni kriya, karawitan, dan tari di Solo dan sekitarnya. Mari juga bertandang ke Studio Bambu Rempah Rumah Karya.
Wisatawan berdatangan
Menurut Mari, dalam keadaan perekonomian dunia yang melamban dan langkah diversifikasi dari ekonomi yang berbasis komoditas dan industri olahan padat karya, industri kreatif dapat menjadi sumber pertumbuhan dan daya saing berbasis orang kreatif. Hal itu tecermin dari pertumbuhan ekonomi kreatif secara rata-rata di tahun 2013 yang mencapai 5,78 persen atau sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan nasional 5,76 persen.
Wali Kota Solo FX Rudyatmo dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Solo Eni Tyasni Susana membenarkan pendapat Mari. Menurut Eni, sejak Solo secara tegas dikelola menjadi kota kreatif, jumlah wisatawan terus melonjak. Sebagai gambaran, pada 2007, misalnya, wisatawan Nusantara dan mancanegara yang menginap di Kota Solo sebanyak 930.316 orang. Tahun 2008, saat penyelenggaraan SBC pertama kalinya, jumlah wisatawan menjadi 986.582 orang.
Hotel berbintang yang pada 2009 hanya ada 10 hotel kini sudah menjadi 34 hotel. Jumlah wisatawan yang menginap di akomodasi komersial tumbuh 38 persen pada 2013 (1.480.136 orang) dibandingkan dengan tahun 2010 (942.541 orang). Realisasi penerimaan pajak hotel dan restoran Kota Surakarta meningkat tajam dari Rp 16.295.920.000 tahun 2009 menjadi Rp 38.200.000.000 pada 2013.