Ada yang bilang, Anda belum jadi seniman kalau belum tinggal di Nitiprayan. Kuper alias kurang pergaulan kalau tidak berkarya di situ, “kongko-kongko” di situ, tidak akrab dengan daerah di situ. “Vibrant”, istilah yang digemari para pengamat urban, terdapat di Nitiprayan.
Padahal, sebelumnya Nitiprayan tak lebih dari desa petani di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Bantul sendiri pada masa lalu adalah idiom ke-ndeso-an, dijadikan bahan olok-olok di Yogya. Anekdot yang sangat terkenal, katanya orang Bantul pipinya gosong sebelah. Soalnya, pagi hari, mereka sepeda kearah utara menuju Yogya.
Saat itu pipi sebelah tertimpa cahaya matahari yang terbit di timur. Sore tatkala mereka kembali ke Bantul, pipi yang sama terkena sengatan matahari yang hendak tenggelam di barat. Jadilah pipi merekah hitam sebelah.
Kini, Bantul adalah energi kreatif Yogyakarta. Untuk urusan industri kreatif yang sekarang diagung-agungkan di mana-mana, jangan-jangan Bantul merupakan wilayah paling bergairan di Asia Tenggara. Khusus bidang seni rupa, tak ada pemilik galeri internasional serta para art dealer yang ayu kinyis-kinyis dan berpenampilan mahal tak kenal Nitiprayan.
Di Kabupaten Bantul inilah terdapat Desa Kasongan, yang menggeliat sejak tahun 1970-an. Waktu itu, seniman Saptohoedojo dan seorang pencinta batik yang juga pandai berdagang Larasati Suliantoro Sulaiman melakukan semacam dorongan terhadap para perajin di situ. Orang tak akan melupakan desain celengan dari gerabah buatan Kasongan, yang merupakan inovasi Saptohoedojo untuk para perajin setempat.
“Dari awal, perkembangan Kasongan dikaitkan dengan ekonomi,” ucap Timboel Raharjo. Dia adalah doktor, Ketua Program Magister Tata Kelola Seni Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Selain itu, ia juga pengusaha gerabah terkemuka di Kasongan. Tak berlebihan orang menjulukinya “doktor gerabah”. Berambut panjang diikat ke belakang, baju lengan panjang digulung, berdasi, ia menceritakan bagaimana dinamika Kasongan. “Saya habis menguji,” kata TImboel mengapa siang itu mengenakan dasi.
Menurut Timboel, pusat keramaian, ekonomi, kreativitas di Yogya kini menyebar. Terjadi semacam proses desentralisasi. Dulu; orang hanya mengenal Malioboro. Kini, para turis, baik lokal maupun domestik, akan menyinggahi Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan lain-lain. Di sejumlah kabupaten itu terdapat desa-desa wisata.
“Semua bisa dijual. Bahkan membikin tempe bisa dijual dengan melatih turis bikin tempe,” ujar Timboel.
Kontemporer
Untuk urusan seni kontemporer, kita kembali ke Nitiprayan. Di sini kita harus menyebut antara lain peran seniman Ong Hari Wahyu, yang sejak tahun 1979 tinggal di Nitiprayan. Ia menciptakan terobosan dengan berbagai kegiatan seni di desa itu. Nitiprayan, yang semula kampung tani, perlahan-lahan berubah menjadi kampung seni.
Proses transformasi Nitiprayan menjadi salah satu tempat paling hip atau paling edgy di Yogya memiliki pola persis bagaimana wilayah-wilayah kreatif di dunia muncul. Ia dirintis seniman atau kalangan kreatif lain, sebelum pihak-pihak lain mengikutinya (ingat: seniman dan individu-individu indepenen, bukan birokrat, pejabat, politikus).
“Dia yang mendekatkan orang setempat dengan habitat seni,” kata perupa Putu Sutawijaya.
Ingin memanfaatkan atmosfer yang ditumbuhkan Ong, maka Putu pun membangun Sangkring Art Space, galeri seni kontemporer yang kini merambah kegiatan apa saja: pameran, pentas musik, studio rekaman, selain kongko-kongko. Sangkring merupakan salah satu destinasi seniman, akademisi, pemilik galeri, pialang seni dari sejumlah kota dunia.
Selain Sangkring, di Nitiprayan terdapat berbagai tempat yang berhubungan dengan kegiatan kreatif. Tempat itu antara lain Office for Contemporary Art (OFCA) dan Sarang Building, keduanya milik perupa Jumaldi Alvi; Rumah Budaya Tembi (dirintis oleh salah satu senior hari Kompas, P Swantoro); Balai Keseharian dan Pemajangan (Handiwirman); Jogja Art Lab (Yunizar); Sewon Art Space; sampai Heri Pemad Art Management (HPAM) milik wiraswasta dunia seni yang kini menjadi selebritas seni rupa, Heri Pemad. Jangan lupakan pula sejumlah seniman yang memiliki rumah, sanggar disitu, seperti Djoko Pekik, Butet Kertaradjasa, dan Whani Darmawan. Cewek Bandung seperti Arahmaiani pun kini lebih senang disebut sebagai “cewek Bantul”.
Tetap tertawa
Didukung suasana seperti itulah Yogya menjadi daerah sangat menggairahkan. Art Jog yang digelar tiap tahun oleh Heri Pemad di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) barangkali merupakan perhelatan seni rupa yang tak akan pernah dibayangkan situasinya oleh mereka yang belum pernah mengunjunginya.
Pada malam pembukaan Art Jog 2014 awal Juni lalu, orang masuk halaman TBY saja sudah kesulitan, saking banyaknya manusia. Banyak tamu VIP dari Jakarta ataupun kota lain akhirnya hanya ngobrol-ngobrol di jalanan di depan TBY. Selama kegiatan pameran seni rupa kontemporer ini berlangsung, ribuan orang datang setiap hari. Kalau tahun-tahun sebelumnya gratis, tahun ini Heri Pemad memberlakukan tiket masuk seharga Rp. 10.000.
“Ternyata orang tetap berjubel,” ucap Pemad. “Tahu tidak, kantor ini sendiri sebenarnya teras,” tambahnya mengenai kantornya di TBY. Teras itu ia sekat-sekat dengan multipleks. “Kalau acara selesai, multipleks dan kayu-kayu dijadikan peti untuk mengirimkan barang-barang,” ujarnya tertawa.
Dalam kegiatan berskala besar, di gedung-gedung atau galeri yang masif, kita bisa menjumpai orang seperti Heri Pemad, PUtu Sutawijaya, dan Timboel Raharjo yang tetap tertawa. Mereka santai, efisien naik sepeda motor, tidak menjadi birokrat yang kaku dan formal.
Anda masih tidak percaya bahwa energi itu asalnya bukan dari modal, melainkan manusia…