Kisah Kepemimpinan Sang Magnet Media

By , Rabu, 2 Juli 2014 | 12:35 WIB
()

Kamis (3/4) Siang pukul 14.00 WIB, warga dan jajaran Kelurahan Petogogan, Jakarta Selatan bersiap menanti kedatangan Gubernur Joko Widodo untuk meresmikan Kampung Deret Petogogan. Puluhan kursi ditata berderet sepanjang gang perkampungan yang dulu terkenal kumuh dan langganan banjir ini. Makanan yang disajikan sederhana. Hanya dua mangkuk buah-buahan dan sepiring kue di depan kursi yang nantinya diduduki Jokowi (panggilan akrab Joko Widodo). Panggung dan sound system juga sekelas pengajian RT, tidak berlebihan.

Seremoni sederhana untuk pencapaian penting. Kampung Deret Petogogan adalah satu dari 26 kampung deret yang dijanjikan untuk dibangun Jokowi sampai akhir tahun. Sebenarnya ada ratusan kampung kumuh di Jakarta. Namun baru pada era Jokowi, mereka mendapat perhatian. "Kami sudah bermimpi sejak 2005 memiliki kampung yang layak ditinggali. Hingga blueprint rencananya kami sayembarakan dan sudah kami usulkan ke Balai Kota. Namun baru sekarang mimpi itu terwujud," ujar Suroyo, salah satu Ketua RT. Suroyo pantas senang, se­bagai penghuni liar tanah negara, ia justru dibangunkan rumah seharga Rp56 juta/unit. Suroyo juga mendapat sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan).

Di tengah kesenjangan ekonomi kota berpenduduk 10 juta ini, program pro wong cilik lah yang membuat warga kesengsem kepada Jokowi. Padahal biaya untuk program pro rakyat tidak besar. Ambil contoh, renovasi kampung kumuh tergolong kecil dibanding PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang mencapai Rp40 triliun. Untuk kawasan Jakarta Selatan yang mendapat bagian renovasi 602 rumah, bujetnya "hanya" Rp31 miliar, atau tidak lebih dari Rp200 miliar untuk 26 kampung.

Kepekaan dan keberpihakan Jokowi ke warga tinggi. Sejak diangkat menjadi Gubernur DKI Oktober 2012 lalu, Jokowi memenuhi janjinya. Seperti memberikan kartu pintar yang memberikan warga miskin layanan kesehatan dan pendidikan, serta menaikkan UMR (Upah Minimun Regional) hingga 44% pada 2012. Untuk memilih pejabat terbaik di lingkungan DKI, sistem lelang jabatan diperkenalkan mulai tahun lalu.

Jokowi memprakarsai pembuatan sistem pembayaran pajak online untuk mencegah gratifikasi, lalu mempercepat realisasi pembangunan MRT (Mass Rapid Transportation) yang lama tertunda.Meski demikian, ada dua proyek yang menyita energi politik Jokowi semenjak ia menjabat. Yang pertama, tentu saja relokasi pedagang liar di area Tanah Abang ke Blok G. Mereka disebut sebagai penyebab macet di seputar pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara ini. Jokowi beserta wakilnya, Ahok harus menghadapi Ketua DPRD DKI yang selama ini menguasai kawasan Tanah Abang. De­ngan proses yang alot, disertai polemik di media massa para pedagang bisa dpindahkan dengan damai.

Proyek yang kedua adalah relokasi penghuni Waduk Pluit di Jakarta Utara, untuk pertama kalinya sejak 30 tahun. Waduk yang telah dihuni lebih dari tujuh ribu keluarga ini dibebaskan melalui perlawanan warganya, serta "preman" dan pengembang di sana. Jokowi berhasil meyakinkan warga waduk akan dapat rumah sederhana yang layak ditempati, dan memastikan lahannya tidak akan berubah fungsi menjadi mall. Karena waduk akan difungsikan kembali sebagai penampung air hujan yang menyebabkan banjir kronis tahunan.

Di samping langkah populis, Jokowi kerap berani mengambil resiko. Seperti menghadapi protes buruh saat UMR ternyata hanya naik 9%. Dan saat mempertahankan lurah beragama Kristen di wilayah mayoritas muslim, karena sang lurah dianggap lolos seleksi dengan nilai terbaik.

Meski demikian warga masih menyukainya. Jokowi dianggap mengerti suara mereka, lewat seringnya ia blusukan. Blusukan bahkan menjadi gaya khas manajemen Jokowi sejak menjadi wali kota Solo. Lewat wawancara kami sewaktu ia masih menjabat wali kota, blusukan ia artikan dengan tahu persoalan di lapangan melalui penga­matan dan diskusi dengan warga. Lalu dari sana dirancang solusi ideal lewat peraturan pemerintah daerah.

Tidak cuma blusukan ke warga, Jokowi juga kerap sidak ke instansi di bawahnya, seperti kelurahan, kecamatan sampai kantor pajak dan rumah sakit. Hanya untuk mengirim pesan, bahwa gubernur selalu mengawasi birokrasi Pemda DKI yang terkenal inefisien. Jokowi cepat bereaksi jika ada bawahannya yang tidak perform, umumnya dipindahkan ke jabatan yang lebih rendah. Birokrasi ala Jokowi adalalah service bureaucracy, yang tidak mementingkan protokoler dan formalitas.

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ketika meninjau genangan banjir di Grogol. (Fabian Januarius Kuwado/Kompas.com)

Andi Ilham Said, Ketua PPM yang juga pengamat manajemen melihat Jokowi selalu berkomunikasi secara intens, melalui berbagai cara, termasuk blusukan dan sidak. Itu pula yang membuat Jokowi menjadi magnet media (media darling). "Keberhasilan dan kegagalan pemimpin bisa diukur dari intensitas komunikasinya," jelasnya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa program yang tidak populis pun bisa diterima warga, jika dikomunikasikan dua arah dan memperhatikan masukan mereka.

Di antara pujian yang mengalir akan gaya kepemimpinan Jokowi, kritikan juga datang, terutama melihat pencapaian fisik Pemda DKI. "Sejak awal tahun banyak programnya yang tidak jalan seperti dijanjikan. Seperti Trans Jakarta yang tidak nambah-nambah jumlahnya, malah kemarin sempat kasus bis China yang tidak layak. Lalu ada pemba­ngunan enam ruas jalan tol yang belum rampung, dan monorail yang masih dilanjutkan meski ada indikasi merugikan Pemda," kata Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik.

Yayat Supriyatna, dosen tata kota dari Universitas Trisakti, melihat bahwa pembangunan fisik saja tidak cukup menilai keberhasilan seorang gubernur, apalagi pada paruh pertama kepemimpinan. "Perspektifnya harus lebih luas dengan mempertimbangkan pencapaian sosial dan kemanusiaannya. Jokowi berhasil di sini. Program-programnya humanis, memprioritaskan wong cilik. Ia dapat dukung­an luas warganya, hingga tingkat nasional," jelas Yayat.