Remaja Berperan Penting dalam Mencegah Stunting. Bagaimana Caranya?

By Utomo Priyambodo, Selasa, 5 Oktober 2021 | 16:00 WIB
Oxcell, salah satu balita gizi buruk yang menerima paket makanan sehat dari OMABA. (Ade Bayu Indra/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Stunting adalah kekurangan gizi yang berlangsung lama pada bayi di 1.000 hari pertama kehidupan mereka sehingga menyebabkan terhambatnya perkembangan otak dan tumbuh kembang anak. Kondisi gagal tumbuh kembang ini tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan anak, tapi juga kecerdasan mereka.

Karena mengalami kekurangan gizi menahun, bayi stunting tumbuh lebih pendek dan lebih kurus dari standar tinggi dan berat badan balita seumurnya. Meski anak yang bertubuh pendek dan kurus belum tentu stunting, tinggi dan berat badan anak yang di bawah ideal itu merupakan tanda-tanda peringatan yang perlu segera diintervensi agar anak tidak telanjur mendapat vonis stunting atau mengalami gagal tumbuh kembang.

Permasalahan gagal tumbuh kembang anak ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah Indonesia. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Balita Inonesia (SSGBI) pada 2019, prevalensi stunting di negeri tercatat sebesar 27,67 persen. Itu artinya sekitar 1 dari 4 anak balita atau lebih dari 8 juta anak mengalami stunting.

 

Angka itu masih di atas standar yang ditetapkan oleh WHO bahwa prevalensi stunting di suatu negara tak boleh melebihi 20 persen. Oleh karena itu Presiden Jokowi pernah menyampaikan bahwa pemerintah memiliki target untuk menurunkan prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024.

Permasalahan stunting pada anak di Indonesia ini bukanlah tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga publik secara umum. Bahkan, masalah stunting anak ini bukan hanya tanggung jawab para orang tua, melainkan juga para remaja.

Ahli gizi Rita Ramayulis mengatakan bahwa gagal tumbuh kembang anak di 1.000 hari usia pertamanya bukanlah kejadian yang hanya melibatkan peran atau pengaruh dari perilaku ibu hamil, ibu menyusui, maupun anak itu tersebut. "Keadaan stunting itu adalah keadaan siklus," ujar Rita dalam acara bedah buku Cegah Stunting Sebelum Genting: Peran Remaja Dalam Pencegahan Stunting yang diadakan secara daring pada Jumat, 1 Oktober 2021.

Baca Juga: Cegah Stunting, Penguin Edukasi Warga Karawang Tentang Pentingnya Air Bersih

Seorang ibu bernama Dangati membawa bayinya berusia 18 bulan yang menderita gizi buruk ke sebuah rumah sakit. (Citra Anastasia)

"Keadaan hari ini akan menentukan keadaan-keadaan berikutnya," ucap Rita.

Ia merinci bahwa remaja yang malnutrisi, jika tidak diperbaiki, akan menjadi ibu hamil yang malnutrisi. Ibu hamil yang malnutrisi kemudian melahirkan bayi yang malnutrisi. Bayi yang malnustrisi ini kemudian akan menjadi anak yang stunting.

"Jadi, remaja hari ini memang harus punya peran besar terhadap perubahan yang harus dia lakukan, perubahan untuk dirinya sendiri," tegas Rita.

Baca Juga: Perubahan Iklim: Permasalahan yang Memicu Krisis Kesehatan Masyarakat

Siklus stunting, mata rantai yang harus diputus. (Presentasi Rita Ramayulis)

Rita mengatakan bahwa remaja Indonesia saat ini masih memiliki banyak permasalahan terkait gizi. Sebagai contoh, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian Kesehatan, 32% remaja di Indonesia mengalami anemia. Itu artinya, 3 sampai 4 dari 10 remaja di negeri ini menderita kekurangan sel darah merah. Sebagian besar kondisi ini diakibatkan oleh kekurangan zat besi atau anemia defisiensi besi.

Kemudian, masih dari sumber data yang sama, 25,7% remaja berusia 13-15 tahun di Indonesia memiliki status gizi pendek dan sangat pendek, sementara 26,9% remaja berusia 16-18 tahun memiliki status gizi pendek dan sangat pendek. Selain itu, 8,7% remaja berusia 13-15 tahun di Indonesia memiliki status gizi kurus dan sangat kurus, dan 8,7% remaja berusia 16-18 tahun memiliki status gizi kurus dan sangat kurus.

Baca Juga: Cegah Stunting, Penguin Edukasi Warga Karawang Tentang Pentingnya Air Bersih

Oleh karena itu, Rita menegaskan, para remaja perlu memperbaiki pola makan mereka agar mendapat gizi yang cukup dan baik demi "menutus mata rantai" stunting ini. Para remaja harus memperhatikan bahwa makanan yang mereka konsumsi itu mengandung bahan makan yang diolah dengan cara yang baik sehingga bisa memenuhi kebutuhan gizi mereka.

Dalam buku Cegah Stunting Sebelum Genting: Peran Remaja Dalam Pencegahan Stunting yang diluncurkan tersebut, terdapat kumpulan tulisan yang disusun oleh 16 mahasiswa-mahasiswi yang tergabung dalam Tanoto Scholars Association.

Baca Juga: Ojek Makanan Balita, Cara Mulia Atasi Masalah Kekurangan Gizi

Buku yang diluncurkan oleh organisasi filantropi independen Tanoto Foundation dan diterbitkan melalui Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) itu disusun dalam empat tema bermanfaat yang dapat diterapkan oleh para remaja di kehidupan sehari-hari, baik bagi diri mereka sendiri hingga masyarakat. Kategori-kategori tersebut meliputi pola konsumsi, pola pengasuhan anak usia dini, pelayanan kesehatan dasar, dan kesehatan lingkungan.

Para narasumber dan moderator dalam bedah buku Cegah Stunting Sebelum Genting: Peran Remaja Dalam Pencegahan Stunting. (Tangkapan layar webinar KPG)

Hendriasari Oktaviana, salah satu penulis dalam buku ini sekaligus penerima beasiswa program TELADAN dari Tanoto Foundation di Universitas Gadjah Mada, mengatakan banyak hal baru yang membuatnya terkejut saat menyusun isi buku tersebut. Seorang rekannya memiliki tulisan liputan yang menarik mengenai peran para remaja yang tergabung dalam Karang Taruna Dusun Tawangsari di Desa Semowo di Kabupaten Semarang.

Karang taruna tersebut memiliki salah satu program kerja bernama Garda Remaja Pencegah Stunting (GRPS). Program kerja bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, terutama kepada para ibu hamil dan ibu yang memiliki anak usia 0-3 tahun, mengenai stunting dan pola asuh anak ini.

Program kerja yang telah dimulai sejak bulan November 2020 ini berusaha meningatkan para ibu pentingnya kenaikan berat badan mereka saat hamil dan kenaikan berat badan anak mereka setiap minggunya atau minimal setiap bulannya. Oleh karena itu membawa anak ke posyandu setiap bulannya untuk memantau berat badan dan kesehatan mereka sangatlah penting untuk dilakukan para ibu.

Baca Juga: Upaya Atasi Kekurangan Gizi dengan Memanfaatkan Panganan Lokal

Menurut Sari, sapaan Hendrasari, peran remaja dalam mencegah stunting seperti ini tidak hanya bisa dilakukan melalui karang taruna, tetapi juga secara mandiri melalui gerakan sendiri. Kita sebagai remaja, misalnya, bisa rutin menanyakan para ibu yang hamil di sekitar kita, entah itu saudara atau tetangga, tentang kenaikan berat para ibu hamil itu alih-alih jenis kelamin bayi yang akan lahir tersebut.

Pertanyaan serupa juga bisa diajukan kepada para ibu yang memiliki anak-anak di bawah usia 3 tahun, apakah kenaikan berat badan anak mereka idal setiap bulannya. Sebab, kenaikan berat badan yang seret ini, meskipun anak tampak sehat dan aktif, adalah salah satu pertanda kurangnya gizi pada mereka sehingga akhirnya bisa menyebabkan mereka gagal tumbuh kembang.

Pada akhirnya, para balita yang mengalami stunting ini kemudian menjadi anak-anak dan remaja yang memiliki IQ lebih rendah dan masalah kesehatan yang membuatnya mudah lesu ketika dewasa. Kondisi ini tentu saja akan menyulitkan visi Indonesia sendiri dalam mewujudkan Generasi Emas 2045.