Kisah Saedah Saenih di Balik Budaya Mengais Koin di Jembatan Indramayu

By Galih Pranata, Senin, 4 Oktober 2021 | 14:00 WIB
Masyarakat menganggap bahwa tradisi mengais koin berawal dari kepercayaan masyarakat lokal tentang kisah Saedah Saenih. Keduanya merupakan penari ronggeng yang saat kanak-kanak dicampakkan kedua orangtuanya di hutan. (Sekar Rarasati)

Nationalgeographic.co.id—Melintasi wilayah Pantura, di kawasan jembatan Sewo, Indramayu, akan ditemui belasan hingga puluhan warga tengah memegang sapu. Bukan untuk membersihkan jalan, mereka menyapu koin yang dilempar para pelintas ke dari tengah ke pinggir jalan, sebagai bagian tradisi.

Tradisi mengais koin nampaknya telah bertahan sejak puluhan tahun lamanya. Mereka menganggap bahwa tradisi mengais koin berawal dari kepercayaan masyarakat lokal tentang kisah Saedah Saenih. Kisah ini melegenda di masyarakatnya yang mempercayai hal berbau mistis atau klenik.

Yuzar Purnama menulisnya dalam jurnal Patanjala, berjudul Mitologi Saedah Saenih, Cerita Rakyat dari Indramayu, terbit pada 2016. Ia membahas mitos dari kisah Saedah Saenih yang menjadi alasan utama terbentuknya tradisi mengais koin di jembatan Kali Sewo, Indramayu.

"Terdapat sebuah keluarga di Desa Karang Turi, Indramayu, yang terdiri atas suami istri bernama Ki Sarkawi dan Maimunah," cerita Yuzar. Sarkawi menikahi Maemunah setelah ditinggalkan istrinya. "Dari pernikahan pertamanya, ia dianugerahi dua orang anak, bernama Saedah dan Saenih," lanjutnya.

Maemunah, istri mudanya, merupakan penari ronggeng yang populer di pesisir utara dan Indramayu. "Suatu ketika, saat Ki Sarkawi pergi ke hutan, ia meninggalkan Saedah dan Saenih kepada istri mudanya yang merupakan ibu tiri mereka," tambahnya.

Sayangnya, Maimunah tak pernah menginginkan keberadaan Saedah dan Saenih. Ia kerap berlaku kasar kepada keduanya. Yuzar menambahkan, "Saat Maimunah hendak ke pasar, ia berpesan untuk tidak menggunakan beras dan uang yang ada di rumah".

Kondisi perut yang lapar, membuat Saedah tak tega melihat adiknya menderita. Namun, ia nekat memasak beras, yang sejatinya merupakan pantangan ibu tirinya. "Sepulangnya dari pasar, Maimunah sontak naik pitam melihat Saedah tak mengindahkan pantangannya, ia pun berlaku kasar hingga diketahui Ki Sarkawi yang pulang dari berburunya," tambahnya. 

Baca Juga: Napak Tilas Tari Topeng Mimi Rasinah di Tengah Era Modern dan Pagebluk

Ki Sarkawi kemudian memarahi Maemunah. Dia pun segera berpikir untuk menceraikannya. "Maimunah bergegas ke dukun, meminta pertolongannya untuk membuat suaminya itu, lebih memilih dirinya daripada kedua anaknya," terangnya.

Hingga di suatu sore, Ki Sarkawi terbesit untuk mengajak anaknya berburu di hutan. "Saedah dan Saenih bersemangat untuk turut serta ayahnya berburu," lanjut Yuzar.

Suatu ketika, Saenih kelelahan dan kehausan di tengah hutan belantara. "Ayahnya kemudian bergegas mencarikan minum untuk anak bontotnya itu, ia pun meninggalkan kedua anaknya di tengah belantara yang sunyi," tulis Yuzar. Berjam-jam kedua anak kecil itu menunggu, sampai langit malam dan kegelapan pekat menyelimuti hutan.

Mereka tak pernah menyadari bahwa ayahnya telah meninggalkan mereka. Saedah dan Saenih dibiarkan berdua di hutan yang gelap dan menerbitkan ketakutan. "Ki Sarkawi telah diguna-guna, untuk meninggalkan kedua anaknya ditengah hutan," tambahnya.

"Tibalah seorang tua renta menghampiri mereka," lanjutnya. Kakek itu menghampiri dan menawarkan sejumlah kesepakatan. "Saedah dan Saenih bisa ia ikutkan dengan grup penari ronggeng hingga mereka berhasil, hingga tiba saatnya salah satu mereka dijemput ajal," Yuzar berkisah dalam tulisannya.

Benar saja, tahun-tahun berganti, grup mereka laris manis di pasaran. Tak pelak membuat keduanya menjadi kaya raya. "Saedah dan Saenih memiliki rumah di Sewo dan hanya hidup berdua," kisahnya. Waktu-waktu berlalu, Saenih akhirnya menemui ajalnya.

Berita tentang kesohoran Saedah dan Saenih sampai kepada kedua orang tuanya. Diketahui bahwa Ki Sarkawi dan Maemunah sudah melarat, tak sekaya dulu. Mereka akhirnya berniat untuk mengunjungi kediaman kedua anaknya tersebut.

Yuzar menjelaskan dalam tulisannya bahwa Ki Sarkawi merasa terpukul mendengar kabar kematian anaknya Saenih. "Saedah memberikan koper dan sejumlah uang, pesan yang dititipkan Saenih sebelum ajal menjemputnya," tambah Yuzar.

Baca Juga: Denyut Sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah di Desa Pekandangan Indramayu

Sosok perempuan yang bekerja sebagai penari ronggeng di Jawa. Litografi berdasar karya Hardouin, publikasi oleh H.M. Lange pada 1855. (Pictura Antique Prints)

"Ini adalah uang dan barang untuk mengganti beras yang sudah Saenih gunakan dulu untuk bapak (Ki Sarkawi) dan mimi (Maimunah)," ujaran lirih Saedah dalam kisah yang ditulis oleh Yuzar. Ki Sarkawi menyesali segala perbuatan yang dilakukannya dulu.

Saat perjalanan pulang mekintasi kali Sewo, dalam beberapa penuturan menyebutkan bahwa Ki Sarkawi bersama istrinya tewas tergelincir ke sungai. Sementara penuturan lain mengisahkan bahwa Ki Sarkawi bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya ke sungai. Menurut pengakuan warga, makamnya masih bisa ditemui hingga hari ini.

Kisah tersebut tentunya melegenda bagi masyarakat Indramayu, khususnya yang tinggal di sekitar kali Sewo, Indramayu. Mereka berkeyakinan bahwa Ki Sarkawi dan istrinya masih bersemayam di kali Sewo  menjadi penghuni kali tersebut. Maka dari itu, masyarakatnya meminta koin agar para pelintas dapat melalui jembatan Sewo dengan aman.

Mereka juga mengaitkan kutukan tersebut dengan kecelakaan tragis yang terjadi pada 11 Maret 1974. Kecelakaan tersebut melibatkan para transmigran Boyolali dalam perjalanannya ke Sumatra. Busnya terguling ke dasar sungai, menewaskan 67 penumpang dan menyisakan 3 anak yang selamat.