Saat pulang ke gurun adalah saat membahagiakan bagi Narankhuu dan adiknya. Sama halnya dengan pulang kembali ke kehidupan nomaden yang ditinggalkan sementara. “Aku senang pulang rumah. Ini tempat yang indah. Aku suka naik kuda dan unta,” ujar Narankhuu tentang kerinduannya.
Di rumah, ia akan membantu orangtuanya. Ia menghalau kuda-kudanya di padang untuk minum air di palungan. Dengan nyali besar, ia sendirian menggiring domba-kambing pulang kandang dengan naik unta atau kuda di petang hari.
Bersama dengan ibunya, Narankhuu membantu memeras susu unta. Seperti kuda, unta hanya bisa diperah ketika binatang itu sedang menyusui anaknya.
Kali lain ia membantu sang ayah mengumpulkan kotoran hewan kering di sekitar padang. Kotoran akan menjadi bahan bakar bagi tungku api. Menurut mereka, kotoran kuda yang dipakai untuk tungku perapian berbau harum.
Ada pula pertalian khusus Narankhuu dengan kuda. Ia begitu mengenal karakter kuda-kudanya, karena memang sang ayah sudah mengajarinya sejak usia tiga tahun. Kondisi ini membuat anak-anak nomad memiliki ikatan batin yang erat dengan ternak mereka.
“Aku kadang pergi ke Ulaanbaatar dengan ayahku. Banyak hal baru di sana. Kami tinggal di rumah bibi Chulnaa, tapi, aku suka tinggal di padang gurun ini,” ucapnya tentang kehidupan yang amat modern di kota.
Dengan kebebasan bulat, Narankhuu telah menetapkan pilihan yang kukuh untuk melanjutkan kehidupan nomaden di padang gurun Uruli. Sebuah tanda-tanda kehidupan akan generasi nomaden yang baru di masa mendatang.
Sesungguhnya, ia kini tak mencari sesuatu yang menjauh dari dirinya.
Ia malahan telah menemukan sebuah identitas diri sebenarnya, yakni eksistensi yang tulen sebagai seorang remaja nomad. (Petrus Eko Handoyo, di Sihanoukville, Kerajaan Kamboja)