Nyanyi Sunyi dari Uruli

By , Jumat, 11 Juli 2014 | 17:14 WIB
()

“Aku anak nomad. Bersama keluarga, kami tinggal di padang gurun Uruli. Kami punya banyak ternak,” kata Narankhuu. Nama Narankhuu itu sesungguhnya indah. Maknanya khas. Dalam bahasa Mongol, ada dua arti—nar berarti “mentari” dam khuu berarti “anak laki-laki”.

Sekilas, nama itu mencerminkan nama seorang laki-laki. Ini pun sebuah nama Mongol yang autentik. Sebab dalam budaya setempat, setiap nama punya makna tersendiri. Misalnya, Naranbaatar (pahlawan Matahari) atau Narmandakh (pemantik api mentari) yang keduanya mengacu pada kaum lelaki.

Narankhuu begitu murah senyum. Ia salah satu citra dari anak nomad yang sejati. Cekatan dan terampil dalam pekerjaan. Setia dengan tugas-tugas yang diemban. Penuh pengertian terhadap kehidupan nomaden yang fleksibel.

Dan, ia pun pintar secara akademik. Lebih dari itu: ia bukan anak kota metropolitan.

Ia hanyalah bocah sepuluh tahun yang memiliki kepekaan alam yang istimewa terhadap Padang Gurun Gobi.

Padang gurun Uruli merupakan bagian terkecil dari Gurun Gobi yang terbentang sangat luas antara Mongolia Selatan dan Cina Utara. Padang gurun Uruli memang belum dipetakan dalam atlas Mongolia. Tempat ini begitu kecil dan gersang. Di musim dingin, suhunya bisa anjlok hingga - 35o C. Kediaman nomaden di sana ibarat di dunia antah berantah.

Kata ‘nomad’ dalam bahasa Yunani nomas berarti “mengembara atau berkelana untuk mencari padang rumput”. Orang-orang nomad, dalam konteks luas, mendiami banyak lokasi di Bumi ini.

Kita tidak akan menemukan tempat tinggal mereka yang permanen. Mereka selalu melakukan pengembaraan tanpa akhir. Sebab itulah mereka mudah terlupakan oleh sebagian besar dari kita, masyarakat yang menetap.

Narankhuu tinggal di padang gurun Uruli—dekat Khanbogd sum di Provinsi Umnugov (bahasa Mongol: Ömnögovǐ), bagian selatan Mongolia— dengan ayah ibu serta kedua adiknya. Ayah Narankhuu bernama Chuluunbat, usianya 34 tahun. Adik perempuannya bernama Sarangya, 8 tahun. Meski statusnya anak nomad, Narankhuu dan adiknya tetap bersekolah di Khanbogd sum. Ibu kota provinsi adalah Dalanzadgad. Dari ibukota Mongolia, Ulaanbaatar, ke Dalanzadgad sendiri berjarak 520 km. Jarak antara Dalanzadgad dan Khabogd sum kira-kira sejauh 193 km. Jarak ini belum termasuk kesasar di padang gurun. Sekolahnya di sekolah milik pemerintah yang gratis.

Ada kalanya anak-anak pergi ke sekolah tanpa berseragam. Sekolah-sekolah di padang rumput dan padang gurun biasanya memiliki asrama yang menampung anak-anak nomad. Narankhuu dan Sarangya tinggal bersama kerabat ibunya di kota kecil itu. Mereka pulang ke padang gurun Uruli dua kali sebulan.

Narankhuu yang dikenal cerdas pernah didaftarkan bibinya di Ulaanbaatar untuk bersekolah di sebuah SD swasta di kota. Keluarganya berharap agar bocah itu bisa mengembangkan kemampuan akademik dan memperoleh pendidikan layak.

Namun pihak sekolah menolaknya dengan alasan anak-anak daerah terlalu lambat untuk menangkap dan mengikuti beragam pelajaran di sekolah kota.

Harumnya kotoran kuda

Saat pulang ke gurun adalah saat membahagiakan bagi Narankhuu dan adiknya. Sama halnya dengan pulang kembali ke kehidupan nomaden yang ditinggalkan sementara. “Aku senang pulang rumah. Ini tempat yang indah. Aku suka naik kuda dan unta,” ujar Narankhuu tentang kerinduannya.

Hamparan lanskap Gurun Gobi di Provinsi Ömnögovi, Mongolia (Wikimedia-Creative Commons)

Di rumah, ia akan membantu orangtuanya. Ia menghalau kuda-kudanya di padang untuk minum air di palungan. Dengan nyali besar, ia sendirian menggiring domba-kambing pulang kandang dengan naik unta atau kuda di petang hari.

Bersama dengan ibunya, Narankhuu membantu memeras susu unta. Seperti kuda, unta hanya bisa diperah ketika binatang itu sedang menyusui anaknya.

Kali lain ia membantu sang ayah mengumpulkan kotoran hewan kering di sekitar padang. Kotoran akan menjadi bahan bakar bagi tungku api. Menurut mereka, kotoran kuda yang dipakai untuk tungku perapian berbau harum.

Ada pula pertalian khusus Narankhuu dengan kuda. Ia begitu mengenal karakter kuda-kudanya, karena memang sang ayah sudah mengajarinya sejak usia tiga tahun. Kondisi ini membuat anak-anak nomad memiliki ikatan batin yang erat dengan ternak mereka.

“Aku kadang pergi ke Ulaanbaatar dengan ayahku. Banyak hal baru di sana. Kami tinggal di rumah bibi Chulnaa, tapi, aku suka tinggal di padang gurun ini,” ucapnya tentang kehidupan yang amat modern di kota.

Dengan kebebasan bulat, Narankhuu telah menetapkan pilihan yang kukuh untuk melanjutkan kehidupan nomaden di padang gurun Uruli. Sebuah tanda-tanda kehidupan akan generasi nomaden yang baru di masa mendatang.

Sesungguhnya, ia kini tak mencari sesuatu yang menjauh dari dirinya.

Ia malahan telah menemukan sebuah identitas diri sebenarnya, yakni eksistensi yang tulen sebagai seorang remaja nomad.    (Petrus Eko Handoyo, di Sihanoukville, Kerajaan Kamboja)