Nationalgeographic.co.id - Sebuah fosil rahang manusia ditemukan oleh para arkeolog di Leang Bulu Bettue, Sulawesi Selatan. Pemilik rahang itu seorang perempuan tua dan kesehatan giginya yang buruk, karena kondisinya diketahui dari gigi gerahamnya dan beberapa bagian lainnya yang hilang.
Temuan ini dianalisis, dan hasilnya dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, 29 September lalu. Diperkirakan fosil itu berasal dari zaman Pleistosen akhir sekitar 25.000 hingga 16.000 tahun silam. Tetapi lewat gambar cadas yang banyak ditemukan pada gua-gua sekitarnya, diperkirakan populasi masyarakat yang menyertainya sudah ada sejak 70.000 hingga 65.000 tahun silam.
"Manusia modern pertama yang tiba di Sulawesi menghasilkan beberapa seni cadas tertua yang diketahui, tetapi sedikit yang diketahui tentang asal usul dan kehidupan budaya para pemburu-pengumpul Pleistosen akhir ini," tulis para peneliti internasional yang dipimpin Adam Brumm dari Australian Research Centre for Human Evolution, Griffith University, Australia.
Mandibula atau tulang rahang bawah ini membuatnya sebagai fosil tertua yang ditemukan di Sulawesi. Selain itu "keausan gigi dan patologi mulutnya yang tidak biasa menawarkan petunjuk yang menggiurkan tentang bagaimana mereka beradaptasi dengan lingkungan hutan hujan tropis".
Sebelumnya, Adam Braumm dan tim juga menemukan satu set kerangka manusia berjenis kelamin perempuan yang berasal dari 7.200 tahun yang lalu. Mengutip kabar dari National Geographic Indonesia sebelumnya, kerangka ini merujuk pada orang-orang Toalean yang masih teka-teki dalam sejarah masyarakat Sulawesi Selatan dan peradabannya yang merupakan pemburu pengumpul.
Berdasarkan pengamatan DNA pada sisa kerangka yang baru ini diungkap, membantu pemahaman tentang migrasi manusia ke Sulawesi, dan berpindah ke pulau-pulau lainnya. Sebab, kerangka ini adalah etnis Australo-Melasianis yang merupakan nenek moyang langsung dari Aborigin Australia dan Melanesia di Papua.
Baca Juga: Alat Berburu dan Meramu Masyarakat Sulawesi pada Ribuan Tahun Lalu
Berdasarkan model migrasi manusia pada masa itu, populasi ini mencapai dataran Paparan Sahul (Papua-Australia), yang kemudian terputus dan terisolasi hingga periode Holosen tengah (sekitar 10.000 tahun yang lalu).
"Pada tahap ini, kontak langsung dengan populasi manusia yang belum diketahui tinjukkan oleh penyebaran dingo (Canis dingo) yang dieperantarai manusia ke daratan Australia, Canis liar yang meungkin awalnya diperkenalkan oleh pelaut Asia sebagai hewan peliharaan sepenuhnya sebagai anjing," tulis mereka.
Beberapa periode berikutnya, di pulau ini menjadi lebih beragam dengan datangnya peradaban petani neolitik Austronesia, yang berasal dari pangkalan selatan Cina atau Tawian. Kehidupan bersama ini diperkirakan membuat orang Australo-Melanesia asli menyerap kebudayaan mereka.
Kendati demikian, para peneliti juga mengusulkan model lain bahwa migrasi Australo-Melanesia dapat terjadi akibat bergeser dari arah barat, seperti Paparan Sunda--dataran besar yang menghubungkan Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa kini. Pendudukan sempat bercampur dua etnis di barat, kemudian garis pemisahnya makin bergeser makin ke timur.
Ada pun model migrasi Australo-Melanesia yang terbaru yang dikutip dalam makalah, mereka bermigrasi keluar Afrika pada 80.000 tahun lalu, dan tiba di Sunda utara (Kalimantan). Bukti ini terungkap lewat tengkorak Homo sapiens di Gua Niah, Serawak, Malaysia.
Lalu generasi pertama manusia bermigrasi itu berlanjut dengan melintasi Garis Wallace ke Sulawesi atau Maluku, tetapi belum sampai ke Paparan Sahul.
Jelas bahwa masih banyak pekerjaan lapangan yang lebih mendasar yang harus dilakukan, untuk mengungkap sejarah budaya dan biologis AMH (anatomically modern humans) awal di pulau-pulau Wallacea ini," tulis para peneliti.
Baca Juga: Gambar Cadas Purbakala di Sulawesi Terancam Rusak oleh Perubahan Iklim