Mitigasi Tsunami: Dilema di Selatan Jawa

By , Senin, 21 Juli 2014 | 18:03 WIB

Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X pun mengatakan, aspek ancaman tsunami itu sudah diperhitungkan dalam rencana pembangunan bandara, termasuk akan membangun tanggul. ”Kalau enggak dipikirkan, berarti semua bodoh,” kata dia, seperti dikutip Kompas (12/6).

Namun, belajar dari tsunami yang melanda Sendai pada 11 Maret 2011, pembangunan tanggul tak efektif mengatasi tsunami skala besar. ”Tak ada satu jenis struktur yang mampu secara sempurna menahan tsunami jika ketinggian lebih dari 5 meter. Untuk selatan Jawa, dari studi saya, potensi ketinggian gelombang tsunami bisa 9 meter,” kata Abdul Muhari, peneliti di International Research Institute of Disaster Science Tohoku University, Jepang.

Menurut dia, satu-satunya cara menanggulangi dampak tsunami adalah kombinasi beragam infrastruktur. Setelah tsunami 2011, Jepang akan membangun minimal tiga tanggul di dataran rendah Sendai. Lapis pertama adalah tanggul di bibir pantai (setinggi 7 m) dan di belakangnya dibangun bukit-bukit buatan (15-20 m) yang akan ditanami pohon sebagai sabuk hijau sampai jarak 1 km dari bibir pantai. Lalu, tanggul kedua, yakni jalan sejajar pantai yang ditinggikan jadi 6,4 m. Terakhir, jalan tol Sendai setinggi 4 m.

Meski Bandara Sendai yang diterjang tsunami 2011 tak dipindahkan, hunian masyarakat dan kegiatan ekonomi di sekitar bandara direlokasi. ”Di daerah rawan tsunami hanya tersisa bandara,” kata Muhari.

Pertimbangannya, bangunan Bandara Sendai dibuat dengan struktur tahan gempa dan elevasi bangunan tinggi dari tanah sehingga bandara adalah tempat evakuasi dari Sendai. Saat tsunami 2011, hampir 1.000 orang dievakuasi ke Bandara Sendai dan selamat dari tsunami.

Itu beda dengan di Indonesia, di mana tata ruang dan aturan sempadan pantai kerap dilanggar. Pembangunan bandara baru akan memancing berkembangnya pusat aktivitas ekonomi di sekitar Pantai Glagah hingga radius minimal 2,5 km dari lokasi bandara. ”Jika terjadi, pembangunan tanggul pantai untuk melindungi bandara sia-sia. Aktivitas warga tersebar di pantai yang tak terlindung,” ujarnya.

Pantauan di Temon, akhir Mei lalu, rencana pembangunan bandara memicu pro-kontra. Poster-poster berisi penolakan warga yang akan digusur bertebaran. Namun, soal keamanan tsunami belum jadi perdebatan.

Di sekitar pesisir, tanah-tanah mulai diborong spekulan. Rencana pembangunan bandara itu mengundang investor yang selama ini kurang melirik pantai selatan Jawa. Selama ratusan tahun, pesisir selatan Jawa sepi dari pembangunan.

Secara tradisional, daerah itu dihindari karena dibayangi ketakutan pada sosok ”Ratu Selatan”. Masalahnya, bagaimana jika sebenarnya kisah tradisional Ratu Selatan itu punya pesan agar kita waspada tsunami, sebagaimana diperingatkan dalam Babad Ing Sangkala:

Nir buta iku/bumi/kala wong Pajang kendhih/lungo tilar nagara/Adipatinipun angungsi ing Giri Liman/ing Mataram angalih mring Karta singgih/nir tasik buta tunggal. (Saat ’lenyap berubah jadi laut/buminya’/orang-orang Pajang dikalahkan/mereka meninggalkan tanahnya/Adipati mereka mengungsi ke Giri Liman/Di Mataram, mereka pindah ke Karta, Ketika menghilang/semua kembali ke laut’).