Mitigasi Tsunami: Dilema di Selatan Jawa

By , Senin, 21 Juli 2014 | 18:03 WIB

Kawasan pesisir selatan Jawa secara tradisional sepi dari simpul ekonomi dibandingkan pesisir utara.

Kini, kawasan selatan Jawa hendak dihidupkan melalui pembangunan sejumlah infrastruktur penting, termasuk bandara internasional baru. Namun, ada dilema—rencana pembangunan itu berhadapan dengan ancaman tsunami dari Laut Selatan Jawa.

Sejumlah infrastruktur penting akan dibangun di pantai selatan Jawa, khususnya Yogyakarta, di antaranya Jalan Lintas Selatan Jawa sepanjang 1.556 kilometer. Hal itu tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009-2029. Jalan itu akan menghubungkan lima provinsi, yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Selain itu, jaringan rel kereta api dari Pelabuhan Perikanan Tanjung Adikarto menuju Kalimenur, Sentolo, juga akan dibangun. Untuk mendukung infrastruktur transportasi udara, akan dibangun bandara internasional Yogyakarta di Pantai Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo. Bandara baru itu untuk menggantikan Bandara Adisutjipto di Maguwoharjo.

Namun, kajian dua peneliti tsunami dari Balai Pengkajian Dinamika Pantai-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPDP-BPPT), Rahman Hidayat dan Widjo Kongko, menyatakan, daerah pantai selatan Jawa, termasuk selatan Yogyakarta, rentan dilanda tsunami. Kajian itu dimuat dalam IOSR Journal of Applied Geology and Geophysics edisi Mei-Juni 2014.

”Kajian kami, mulai dari sisi timur Sungai Bogowonto di perbatasan Kulon Progo dengan Kabupaten Purworejo hingga Pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul sepanjang 115 km, rentan gempa dan tsunami,” kata Widjo di Yogyakarta.

Potensi gempa bersumber di zona tumbukan lempeng di selatan Jawa itu mencapai Mw 8,2. Dari pemodelan oleh Widjo dan Rahman, dengan kekuatan gempa itu, tsunami bisa setinggi 6 meter di pantai, menjalar ke daratan hingga 2 kilometer. Tsunami diperkirakan tiba ke daratan 33-40 menit seusai gempa.

Rahman Hidayat yang juga Kepala BPDP-BPPT mengatakan, belajar dari tsunami Jepang pada 2011, tsunami bisa merusak, bahkan melumpuhkan bandara di kota Sendai. ”Karena itu, pembangunan obyek vital, seperti bandara baru Yogyakarta, mesti memperhitungkan risiko tsunami,” ujar dia.

Pengalaman di Aceh menunjukkan, tsunami menghancurkan jalan lintas di pesisir barat Sumatera sehingga melumpuhkan transportasi dan pengiriman logistik saat darurat. Karena itu, selain bandara baru, rencana proyek jalan lintas dan kereta api selatan Jawa mesti menghitung faktor tsunami.

Pelajaran Sendai

Menanggapi peringatan itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Kulon Progo Astungkoro, di Kulon Progo, seperti dikutip kantor berita Antara, menyebutkan, ancaman tsunami tak memengaruhi rencana pembangunan bandara oleh PT Angkasa Pura.

”Semua situasi bencana diperhitungkan mulai dari api, banjir, angin, hingga tsunami. Kalau soal tsunami membuat orang tak berkembang, akan jadi daerah tertinggal.”

Sebagai ilmuwan yang bekerja untuk instansi pemerintah, Rahman dan Widjo menegaskan tak bermaksud menggagalkan rencana pembangunan di pesisir selatan Jawa. ”Tugas kami untuk mengingatkan agar pembangunan dilakukan dengan baik dan memenuhi kaidah keamanan masyarakat,” kata Widjo.

Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X pun mengatakan, aspek ancaman tsunami itu sudah diperhitungkan dalam rencana pembangunan bandara, termasuk akan membangun tanggul. ”Kalau enggak dipikirkan, berarti semua bodoh,” kata dia, seperti dikutip Kompas (12/6).

Namun, belajar dari tsunami yang melanda Sendai pada 11 Maret 2011, pembangunan tanggul tak efektif mengatasi tsunami skala besar. ”Tak ada satu jenis struktur yang mampu secara sempurna menahan tsunami jika ketinggian lebih dari 5 meter. Untuk selatan Jawa, dari studi saya, potensi ketinggian gelombang tsunami bisa 9 meter,” kata Abdul Muhari, peneliti di International Research Institute of Disaster Science Tohoku University, Jepang.

Menurut dia, satu-satunya cara menanggulangi dampak tsunami adalah kombinasi beragam infrastruktur. Setelah tsunami 2011, Jepang akan membangun minimal tiga tanggul di dataran rendah Sendai. Lapis pertama adalah tanggul di bibir pantai (setinggi 7 m) dan di belakangnya dibangun bukit-bukit buatan (15-20 m) yang akan ditanami pohon sebagai sabuk hijau sampai jarak 1 km dari bibir pantai. Lalu, tanggul kedua, yakni jalan sejajar pantai yang ditinggikan jadi 6,4 m. Terakhir, jalan tol Sendai setinggi 4 m.

Meski Bandara Sendai yang diterjang tsunami 2011 tak dipindahkan, hunian masyarakat dan kegiatan ekonomi di sekitar bandara direlokasi. ”Di daerah rawan tsunami hanya tersisa bandara,” kata Muhari.

Pertimbangannya, bangunan Bandara Sendai dibuat dengan struktur tahan gempa dan elevasi bangunan tinggi dari tanah sehingga bandara adalah tempat evakuasi dari Sendai. Saat tsunami 2011, hampir 1.000 orang dievakuasi ke Bandara Sendai dan selamat dari tsunami.

Itu beda dengan di Indonesia, di mana tata ruang dan aturan sempadan pantai kerap dilanggar. Pembangunan bandara baru akan memancing berkembangnya pusat aktivitas ekonomi di sekitar Pantai Glagah hingga radius minimal 2,5 km dari lokasi bandara. ”Jika terjadi, pembangunan tanggul pantai untuk melindungi bandara sia-sia. Aktivitas warga tersebar di pantai yang tak terlindung,” ujarnya.

Pantauan di Temon, akhir Mei lalu, rencana pembangunan bandara memicu pro-kontra. Poster-poster berisi penolakan warga yang akan digusur bertebaran. Namun, soal keamanan tsunami belum jadi perdebatan.

Di sekitar pesisir, tanah-tanah mulai diborong spekulan. Rencana pembangunan bandara itu mengundang investor yang selama ini kurang melirik pantai selatan Jawa. Selama ratusan tahun, pesisir selatan Jawa sepi dari pembangunan.

Secara tradisional, daerah itu dihindari karena dibayangi ketakutan pada sosok ”Ratu Selatan”. Masalahnya, bagaimana jika sebenarnya kisah tradisional Ratu Selatan itu punya pesan agar kita waspada tsunami, sebagaimana diperingatkan dalam Babad Ing Sangkala:

Nir buta iku/bumi/kala wong Pajang kendhih/lungo tilar nagara/Adipatinipun angungsi ing Giri Liman/ing Mataram angalih mring Karta singgih/nir tasik buta tunggal. (Saat ’lenyap berubah jadi laut/buminya’/orang-orang Pajang dikalahkan/mereka meninggalkan tanahnya/Adipati mereka mengungsi ke Giri Liman/Di Mataram, mereka pindah ke Karta, Ketika menghilang/semua kembali ke laut’).